My Story Beneath of Hidden Treasure

Post Top Ad

Senin, 21 April 2025

Persinggungan Dimensi Jin dan Manusia

  

Di Nusantara ini pernah ada zaman dimana manusia dan jin saling menikah adalah hal yang lumrah. Persinggungan dimensi manusia dan jin bahkan menjadi perhatian ulama Islam. Ibnu Taimiyah mengakui bahwa pernikahan antara jin dan manusia bisa saja terjadi dalam artian secara fisik memungkinkan, namun ia tidak menganjurkannya, bahkan menyebutkan bahwa pernikahan semacam itu makruh atau bahkan haram, tergantung situasinya.

“Jin bisa menikah dengan manusia dan bisa juga memiliki keturunan. Ini telah diketahui dan diceritakan oleh banyak ulama.”

– Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Jilid 19, hlm. 39.

Ilustrasi: Ratu balqis, manusia setengah jin

 

Namun, ia juga menekankan bahwa pernikahan seperti itu bertentangan dengan hikmah syariat dan dapat membawa lebih banyak kerusakan (mafsadat) daripada kebaikan, terutama karena:

·        Perbedaan alam eksistensi antara manusia dan jin,,

·        Potensi manipulasi dan gangguan dari jin terhadap manusia,

·        Ketidakmungkinan menjalani kehidupan rumah tangga yang normal menurut syariat manusia.

Dalam kajian fikih Islam, mayoritas ulama sepakat bahwa perkawinan antara manusia dan jin hukumnya makruh, bukan haram, artinya tidak dianjurkan tetapi tidak pula berdosa jika dilakukan. Makruh dalam konteks ini serupa dengan hukum merokok di Indonesia yang cenderung tidak dianjurkan oleh para ulama, namun belum tentu termasuk kategori haram. Hal ini karena secara teologis, jin adalah makhluk ghaib yang diciptakan dari api dan memiliki dunia berbeda dari manusia, sehingga percampuran keduanya dianggap tidak sesuai dengan fitrah penciptaan (Al-Ashqar, 2005).

Beberapa riwayat dari literatur tasawuf dan cerita rakyat mengisahkan bahwa dari perkawinan antara jin dan manusia dapat lahir keturunan, yaitu manusia yang memiliki sifat atau kemampuan supranatural, dikenal sebagai manusia setengah jin. Tokoh-tokoh legenda seperti Datuk Panglima Kumbang, Lembu Suro, dan Mahesa Suro sering dikaitkan sebagai hasil dari relasi ini. Kisah-kisah ini umumnya berakar dari mitologi lokal yang diinterpretasikan dengan sudut pandang keagamaan maupun budaya spiritual masyarakat Jawa (Muhaimin, 2001).

 

Hubungan Jin dan Manusia di Era Modern

Meski di era modern praktik ini terdengar mistis, beberapa orang masih meyakini bahwa perkawinan antara jin dan manusia bisa terjadi, meskipun prosesnya tidak semudah zaman dahulu. Kini, untuk melintasi batas dunia manusia dan jin dibutuhkan ritual khusus yang disebut tirakat, di mana manusia harus menyiapkan diri secara spiritual dan fisik agar dapat masuk ke dalam alam jin. Namun demikian, dalam proses ini, manusia akan menjadi bagian dari dunia jin, tetapi jin tidak bisa menjadi bagian dari dunia manusia dalam wujud fisik yang permanen (Suryadi, 2017).

Ritual-ritual semacam itu biasanya tidak hanya bertujuan untuk menjalin hubungan dengan jin, tapi juga memiliki tujuan tertentu seperti pesugihan, pelarisan dagangan, atau memperoleh kekuasaan. Anak yang lahir dari hubungan tersebut di zaman kini pun diyakini lebih condong berwujud sebagai entitas jin ketimbang manusia setengah jin seperti dalam cerita-cerita lama. Hal ini disebut-sebut terjadi karena pengaruh keberadaan avatar spiritual, yang menciptakan batas kuat antara dunia manusia dan jin, menjadikan mereka tak lagi leluasa untuk menyeberang antar dimensi seperti dahulu (Sholikhin, 2013).

Salah satu tokoh yang diyakini sebagai avatar tersebut adalah Syekh Subakir, seorang wali yang dalam legenda Nusantara disebut berhasil menyegel gerbang antara dunia jin dan manusia di Gunung Tidar. Segel ini konon mencegah jin untuk dengan mudah mengganggu, membunuh, atau menikahi manusia seperti yang terjadi sebelum kedatangannya. Dalam sejarah spiritual Jawa, Syekh Subakir dikenal sebagai tokoh yang menundukkan jin-jin tanah Jawa dan melakukan perjanjian ghaib dengan tokoh mistis seperti Semar atau Sabdo Palon (Purwadi, 2002).

Namun sebagaimana halnya dengan segel atau kontrak spiritual lainnya, kekuatannya diyakini tidak bersifat abadi. Meskipun jejak spiritual Syekh Subakir masih tersisa dalam bentuk "residu energi kewalian", masa aktifnya tentu terbatas. Pertanyaannya, apakah segel itu akan rusak seiring melemahnya energi tersebut? Dan jika ya, apakah dunia akan kembali pada masa di mana jin kembali bebas mencampuri urusan manusia seperti dahulu?

               Pertanyaan ini membuka diskusi lebih lanjut tentang apakah dunia akan memasuki zaman baru, dengan manusia yang lebih sadar dan siap menghadapi keberadaan makhluk ghaib dengan kesadaran spiritualnya yang lebih tinggi (Nasr, 2006).


Daftar Pustaka

Al-Ashqar, U. S. (2005). Alam Jin dan Setan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Muhaimin, A. G. (2001). Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Formation. Jakarta: Mizan.

Suryadi, D. (2017). Relasi Manusia dan Jin dalam Perspektif Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sholikhin, M. A. (2013). Spiritual Code of Java: Mengungkap Misteri Ilmu Kejawen. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Purwadi. (2002). Mistik dan Makna Simbolik dalam Tradisi Jawa. Yogyakarta: Gama Media.

Nasr, S. H. (2006). The Essential Seyyed Hossein Nasr. Indiana: World Wisdom.

Ibn Taymiyyah. (1995). Majmu’ al-Fatawa (Vol. 19). Riyadh: Dar al-‘Alamiyyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar