Di Nusantara
ini pernah ada zaman dimana manusia dan jin saling menikah adalah hal yang
lumrah. Persinggungan dimensi manusia dan jin bahkan menjadi perhatian ulama Islam.
Ibnu Taimiyah mengakui bahwa pernikahan antara jin dan manusia bisa saja
terjadi dalam artian secara fisik memungkinkan, namun ia tidak menganjurkannya,
bahkan menyebutkan bahwa pernikahan semacam itu makruh atau bahkan haram,
tergantung situasinya.
“Jin bisa menikah dengan manusia
dan bisa juga memiliki keturunan. Ini telah diketahui dan diceritakan oleh
banyak ulama.”
– Ibnu Taimiyah, Majmu’
al-Fatawa, Jilid 19, hlm. 39.
![]() |
Ilustrasi: Ratu balqis, manusia setengah jin |
Namun, ia juga menekankan bahwa
pernikahan seperti itu bertentangan dengan hikmah syariat dan dapat membawa
lebih banyak kerusakan (mafsadat) daripada kebaikan, terutama karena:
·
Perbedaan alam eksistensi antara manusia dan
jin,,
·
Potensi manipulasi dan gangguan dari jin
terhadap manusia,
·
Ketidakmungkinan menjalani kehidupan rumah
tangga yang normal menurut syariat manusia.
Dalam kajian
fikih Islam, mayoritas ulama sepakat bahwa perkawinan antara manusia dan jin
hukumnya makruh, bukan haram, artinya tidak dianjurkan tetapi tidak pula
berdosa jika dilakukan. Makruh dalam konteks ini serupa dengan hukum merokok di
Indonesia yang cenderung tidak dianjurkan oleh para ulama, namun belum tentu
termasuk kategori haram. Hal ini karena secara teologis, jin adalah makhluk
ghaib yang diciptakan dari api dan memiliki dunia berbeda dari manusia,
sehingga percampuran keduanya dianggap tidak sesuai dengan fitrah penciptaan
(Al-Ashqar, 2005).
Beberapa
riwayat dari literatur tasawuf dan cerita rakyat mengisahkan bahwa dari
perkawinan antara jin dan manusia dapat lahir keturunan, yaitu manusia yang
memiliki sifat atau kemampuan supranatural, dikenal sebagai manusia setengah
jin. Tokoh-tokoh legenda seperti Datuk Panglima Kumbang, Lembu Suro, dan Mahesa
Suro sering dikaitkan sebagai hasil dari relasi ini. Kisah-kisah ini umumnya
berakar dari mitologi lokal yang diinterpretasikan dengan sudut pandang
keagamaan maupun budaya spiritual masyarakat Jawa (Muhaimin, 2001).
Hubungan Jin dan Manusia di
Era Modern
Meski di era
modern praktik ini terdengar mistis, beberapa orang masih meyakini bahwa
perkawinan antara jin dan manusia bisa terjadi, meskipun prosesnya tidak
semudah zaman dahulu. Kini, untuk melintasi batas dunia manusia dan jin
dibutuhkan ritual khusus yang disebut tirakat, di mana manusia harus
menyiapkan diri secara spiritual dan fisik agar dapat masuk ke dalam alam jin.
Namun demikian, dalam proses ini, manusia akan menjadi bagian dari dunia jin,
tetapi jin tidak bisa menjadi bagian dari dunia manusia dalam wujud fisik yang
permanen (Suryadi, 2017).
Ritual-ritual
semacam itu biasanya tidak hanya bertujuan untuk menjalin hubungan dengan jin,
tapi juga memiliki tujuan tertentu seperti pesugihan, pelarisan dagangan, atau
memperoleh kekuasaan. Anak yang lahir dari hubungan tersebut di zaman kini pun
diyakini lebih condong berwujud sebagai entitas jin ketimbang manusia setengah
jin seperti dalam cerita-cerita lama. Hal ini disebut-sebut terjadi karena
pengaruh keberadaan avatar spiritual, yang menciptakan batas kuat antara
dunia manusia dan jin, menjadikan mereka tak lagi leluasa untuk menyeberang
antar dimensi seperti dahulu (Sholikhin, 2013).
Salah satu
tokoh yang diyakini sebagai avatar tersebut adalah Syekh Subakir,
seorang wali yang dalam legenda Nusantara disebut berhasil menyegel gerbang
antara dunia jin dan manusia di Gunung Tidar. Segel ini konon mencegah jin
untuk dengan mudah mengganggu, membunuh, atau menikahi manusia seperti yang
terjadi sebelum kedatangannya. Dalam sejarah spiritual Jawa, Syekh Subakir
dikenal sebagai tokoh yang menundukkan jin-jin tanah Jawa dan melakukan
perjanjian ghaib dengan tokoh mistis seperti Semar atau Sabdo Palon (Purwadi,
2002).
Namun
sebagaimana halnya dengan segel atau kontrak spiritual lainnya, kekuatannya
diyakini tidak bersifat abadi. Meskipun jejak spiritual Syekh Subakir masih
tersisa dalam bentuk "residu energi kewalian", masa aktifnya tentu
terbatas. Pertanyaannya, apakah segel itu akan rusak seiring melemahnya energi
tersebut? Dan jika ya, apakah dunia akan kembali pada masa di mana jin kembali
bebas mencampuri urusan manusia seperti dahulu?
Pertanyaan
ini membuka diskusi lebih lanjut tentang apakah dunia akan memasuki zaman
baru, dengan manusia yang lebih sadar dan siap menghadapi keberadaan
makhluk ghaib dengan kesadaran spiritualnya yang lebih tinggi (Nasr, 2006).
Daftar Pustaka
Al-Ashqar, U. S. (2005). Alam
Jin dan Setan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Muhaimin, A. G. (2001). Islam
in the Indonesian World: An Account of Institutional Formation. Jakarta:
Mizan.
Suryadi, D. (2017). Relasi
Manusia dan Jin dalam Perspektif Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sholikhin, M. A. (2013). Spiritual
Code of Java: Mengungkap Misteri Ilmu Kejawen. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Purwadi. (2002). Mistik dan Makna
Simbolik dalam Tradisi Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
Nasr, S. H. (2006). The
Essential Seyyed Hossein Nasr. Indiana: World Wisdom.
Ibn Taymiyyah. (1995). Majmu’ al-Fatawa (Vol.
19). Riyadh: Dar al-‘Alamiyyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar