My Story Beneath of Hidden Treasure

Post Top Ad

Senin, 09 Desember 2024

Politik Profetik: Sistem Pemerintahan Ideal Berdasarkan Nilai-Nilai Kenabian



Ilustrasi politik profetik (designed by AI)

Demokrasi dan Politik Pasar

Di zaman dimana manusia sangat mementingkan uang, sepertinya penulis perlu menuliskan perenungan tentang nilai uang yang selalu punya peran besar dalam system politik demokrasi. Ketika uang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari politik, maka system kapitalisme cukup berperan besar dalam hal ini.Kapitalisme sering kali disebut sebagai sistem ekonomi yang menawarkan kebebasan dan peluang yang setara. Namun, pada praktiknya, sistem ini lebih menyerupai struktur kekuasaan yang kompleks, di mana monarki, oligarki, dan demokrasi menyatu dalam satu lapisan. Seperti sebuah boneka matryoshka, kapitalisme menyembunyikan dinamika kekuasaan yang sesungguhnya di balik narasi kebebasan pasar dan demokrasi.

Amerika Serikat, yang kerap mengklaim sebagai negara paling demokratis, adalah contoh nyata dari paradoks ini. Di bawah sistem kapitalisme, demokrasi di Amerika tidak murni ditentukan oleh suara rakyat, melainkan sangat dipengaruhi oleh uang. Kampanye politik di Amerika adalah ajang adu kekuatan finansial. Kandidat dengan pendanaan terbesar dari sponsor korporasi cenderung lebih mudah memenangkan pemilu, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif.

Ironisnya, uang pajak rakyat sering kali digunakan untuk mendukung agenda yang tidak langsung berhubungan dengan kesejahteraan rakyat itu sendiri. Contohnya adalah dukungan finansial besar-besaran kepada Israel, Ukraina, atau pendanaan invasi ke negara lain atas nama keamanan dan demokrasi. Pertanyaannya: siapa sebenarnya yang memutuskan kebijakan ini? Jawabannya adalah oligarki—sekelompok kecil elit politik dan ekonomi yang memiliki pengaruh besar terhadap keputusan pemerintah.

Dalam sistem kapitalisme, politik pasar mendominasi. Kandidat yang memiliki anggaran kampanye terbesar dan mampu menguasai narasi di media massa hampir pasti akan keluar sebagai pemenang. Demokrasi kapitalis ini ibarat memilih pemimpin berdasarkan "investasi terbesar", bukan kompetensi terbaik. Hasilnya, kebijakan yang dihasilkan sering kali lebih menguntungkan investor politik ketimbang rakyat kebanyakan.

Politik Profetik sebagai Alternatif

Sebagai respons terhadap kegagalan kapitalisme dan demokrasi semu, politik profetik menawarkan paradigma yang lebih adil. Politik profetik menekankan pada nilai-nilai spiritual, moralitas, dan kebijaksanaan pemimpin. Dalam diskursus pemerintahan, politik profetik telah muncul sebagai alternatif ideal yang mengedepankan nilai-nilai etika, moral, dan spiritualitas. Konsep ini berakar pada ide bahwa sistem pemerintahan seharusnya tidak hanya berorientasi pada kekuasaan atau pragmatisme politik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur yang menuntun pada kemaslahatan bersama. Politik profetik mengacu pada teladan para nabi dan pemimpin besar dalam sejarah yang memimpin dengan kebijaksanaan, keadilan, dan cinta kasih.


Politik Profetik dalam Pemerintahan Nabi Muhammad SAW


 Hal ini dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam membangun negara Madinah. Nabi Muhammad tidak hanya menjadi pemimpin spiritual, tetapi juga pemimpin politik yang menerapkan keadilan universal. Di Madinah, keputusan politik diambil berdasarkan nilai-nilai etika, bukan kepentingan finansial. Kepemimpinan Nabi Muhammad berlandaskan pada wahyu dan kebijaksanaan, bukan dukungan kelompok elit atau sponsor kaya. Sistem ini menciptakan harmoni di masyarakat multikultural tanpa mengorbankan nilai-nilai universal.

Nabi Muhammad SAW adalah contoh nyata dari politik profetik. Selama masa pemerintahannya di Madinah, beliau menerapkan prinsip-prinsip keadilan, persaudaraan, dan penghormatan terhadap perbedaan. Piagam Madinah, sebagai konstitusi pertama dalam sejarah, mengatur kehidupan masyarakat multikultural di Madinah dengan menekankan persatuan dan perlindungan hak-hak setiap individu, termasuk non-Muslim. Nabi Muhammad tidak hanya bertindak sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai teladan moral yang mempraktikkan nilai-nilai kasih sayang, kejujuran, dan keadilan.


Teladan dari Sejarah Kerajaan


Dalam sejarah Nusantara, Cina, Jepang, dan banyak kebudayaan lainnya, politik profetik juga tercermin dalam kepemimpinan para raja. Raja-raja Nusantara, seperti Hayam Wuruk atau Raja Airlangga, sering kali digambarkan sebagai pemimpin yang bijaksana, adil, dan bahkan memiliki kekuatan spiritual tinggi. Majapahit tidak hanya kuat secara militer, tetapi juga memprioritaskan kerukunan antarsuku dan agama. Dalam ajaran Hindu-Buddha yang dianut, konsep "Tri Hita Karana" (tiga sebab kebahagiaan) menjadi pedoman: harmoni dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.  Raja-raja Nusantara bahkan sering kali dianggap sebagai keturunan Pandawa melalui Parikesit, mencerminkan legitimasi moral dan spiritual yang diharapkan dari seorang pemimpin. Demikian pula, di Jepang dan Cina, garis keturunan raja sering dikaitkan dengan dewa atau langit, memperkuat posisi mereka sebagai pemimpin dengan kebijaksanaan dan tanggung jawab tinggi terhadap rakyat.

Dalam tradisi Cina, politik profetik tercermin melalui konsep "Mandate of Heaven" atau mandat langit. Kaisar dianggap sebagai wakil langit di bumi, yang bertugas memastikan kesejahteraan rakyat dan harmoni alam. Kaisar Tang Taizong dari Dinasti Tang, misalnya, dikenal karena kebijaksanaannya dalam memimpin, mendengarkan kritik dari para menteri, dan memberlakukan kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Filosofi Konfusianisme yang menekankan moralitas pemimpin menjadi dasar dari politik profetik di Cina.

Raja Ashoka dari Dinasti Maurya di India adalah contoh lain dari politik profetik. Setelah menyaksikan kehancuran dalam perang Kalinga, ia mengadopsi ajaran Buddha dan mengubah cara kepemimpinannya menjadi lebih manusiawi. Ashoka menekankan nilai-nilai non-kekerasan, keadilan sosial, dan toleransi. Ia mengukir edik-edik di batu dan pilar untuk mengingatkan rakyatnya tentang pentingnya hidup selaras dengan Dharma (kebenaran).

Di Jepang, politik profetik terlihat pada masa Restorasi Meiji, ketika Kaisar Meiji memimpin transformasi besar-besaran untuk membawa Jepang menjadi bangsa modern tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisionalnya. Restorasi Meiji menunjukkan bagaimana seorang pemimpin dapat mengharmoniskan nilai-nilai spiritual dan budaya lokal dengan tuntutan zaman modern.


Inspirasi dalam Film dan Literatur


Film-film epik sering menggambarkan politik profetik sebagai tatanan yang ideal. Dalam cerita seperti "The Lord of the Rings" atau "The Lion King", pemimpin yang bijaksana dan memiliki visi besar dipilih bukan karena kekuatan fisik semata, tetapi karena moralitas dan kesediaan mereka untuk berkorban demi kebaikan bersama. Politik profetik, meskipun berakar pada nilai-nilai spiritual dan moralitas, sering kali diangkat dalam kisah-kisah epik yang menggambarkan perjuangan kepemimpinan ideal di tengah kekacauan. Beberapa karya populer seperti The Lord of the Rings, The Lion King, dan Game of Thrones membawa unsur-unsur politik profetik, baik dalam narasi maupun karakter pemimpin yang bijaksana. Berikut ulasannya:

 

1. The Lord of the Rings (2001-2003)

Dalam trilogi karya J.R.R. Tolkien yang diadaptasi oleh Peter Jackson, politik profetik tergambar melalui perjalanan Aragorn, seorang keturunan raja yang enggan menerima takdirnya sebagai pemimpin.

Elemen Politik Profetik:

Pemimpin yang Dipilih oleh Takdir: Aragorn adalah pewaris sah takhta Gondor, tetapi ia hanya menerima takdirnya setelah melalui perjalanan panjang yang mengasah kebijaksanaannya. Ia memimpin dengan moralitas, keberanian, dan pengabdian kepada rakyat.

Visi Keadilan: Ketika akhirnya menjadi Raja Elessar, Aragorn menciptakan perdamaian di Middle-earth, mencerminkan kepemimpinan yang berlandaskan nilai-nilai luhur.

Spiritualitas dan Kebijaksanaan: Gandalf sebagai mentor spiritual membantu Aragorn memahami peran moral dan etika dalam kepemimpinannya, seperti seorang nabi yang membimbing seorang raja.

2. The Lion King (1994)

Film animasi Disney ini secara eksplisit menggambarkan perjalanan seorang pemimpin profetik melalui karakter Simba, seekor singa muda yang kembali untuk merebut takhtanya setelah mengalami pengkhianatan dan pengasingan.

Elemen Politik Profetik:

 

Warisan Kepemimpinan: Simba adalah pewaris takhta Pride Rock, tetapi harus menghadapi tantangan untuk merebut kembali takhtanya dari pamannya, Scar, yang memerintah dengan tirani.

Kebijaksanaan Spiritual: Simba dibimbing oleh Rafiki dan semangat ayahnya, Mufasa, untuk menemukan kembali identitasnya sebagai pemimpin. Pesan spiritual ini mencerminkan pentingnya keterhubungan dengan nilai-nilai luhur dalam memimpin.

Pemimpin yang Melayani Rakyat: Setelah mengalahkan Scar, Simba mengembalikan keseimbangan ekosistem, mencerminkan pemimpin yang melindungi rakyat dan alam.

3. Game of Thrones (2011-2019)

Serial karya George R.R. Martin ini, meskipun penuh dengan intrik politik dan pengkhianatan, tetap menyentuh aspek politik profetik melalui beberapa karakter, terutama Jon Snow dan Daenerys Targaryen.

Elemen Politik Profetik:

Jon Snow: Seorang pemimpin yang tidak mencari kekuasaan, tetapi diakui oleh rakyatnya karena moralitas, keberanian, dan komitmen terhadap keadilan. Jon adalah contoh pemimpin yang tidak mementingkan diri sendiri, melainkan berjuang untuk kebaikan bersama.

Daenerys Targaryen: Sebagai keturunan "House of the Dragon", Daenerys sering dianggap sebagai figur profetik yang membawa visi pembebasan. Meskipun ambisinya akhirnya melampaui moralitas, awal perjuangannya mencerminkan harapan terhadap pemimpin yang berkomitmen untuk menegakkan keadilan.

Moralitas dalam Kekuasaan: Serial ini menggambarkan perjuangan antara etika dan pragmatisme dalam politik. Kepemimpinan yang ideal dalam Game of Thrones adalah yang berlandaskan kebijaksanaan dan keadilan, meski sulit dipertahankan di tengah korupsi kekuasaan.

 

Politik Profetik untuk Masa Depan


Kapitalisme yang berlapis demokrasi dan oligarki telah menunjukkan kelemahannya dalam menciptakan pemerintahan yang benar-benar adil. Politik profetik, yang menempatkan moralitas, kebijaksanaan, dan tanggung jawab di atas kepentingan pribadi atau kelompok, menawarkan solusi yang lebih manusiawi.

Dunia modern membutuhkan pemimpin yang tidak hanya terampil dalam strategi politik, tetapi juga memiliki nilai-nilai luhur seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, para raja Nusantara, dan pemimpin besar lainnya. Dengan demikian, politik profetik bukan hanya romantisme masa lalu, tetapi juga jalan menuju tatanan dunia yang lebih berkeadilan. Kisah-kisah yang terdapat dalam film dan literatur juga mengingatkan bahwa kepemimpinan sejati bukan sekadar soal kekuasaan, tetapi soal melayani rakyat, menegakkan keadilan, dan menjunjung nilai-nilai luhur. Politik profetik, seperti yang terlihat dalam film dan serial ini, adalah pelajaran universal tentang arti kepemimpinan yang sejati.

Politik profetik menawarkan pendekatan ideal untuk pemerintahan dengan menempatkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan di atas kepentingan pribadi atau golongan. Di era modern, politik profetik dapat diadaptasi untuk menghadapi tantangan global seperti ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan, dan krisis moral. Inspirasi dari Nabi Muhammad SAW, raja-raja Nusantara, serta pemimpin-pemimpin besar di Cina, India, dan Jepang membuktikan bahwa politik yang berlandaskan moralitas dan spiritualitas mampu menciptakan tatanan masyarakat yang adil, damai, dan sejahtera. Dengan menanamkan nilai-nilai ini, dunia dapat bergerak menuju peradaban yang lebih beradab dan manusiawi. Politik profetik bukan hanya utopia, tetapi solusi nyata yang telah terbukti berhasil dalam sejarah.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar