Ilustrasi politik profetik (designed by AI) |
Demokrasi dan Politik Pasar
Di zaman dimana manusia sangat mementingkan uang, sepertinya penulis
perlu menuliskan perenungan tentang nilai uang yang selalu punya peran besar
dalam system politik demokrasi. Ketika uang sudah menjadi bagian tak terpisahkan
dari politik, maka system kapitalisme cukup berperan besar dalam hal ini.Kapitalisme
sering kali disebut sebagai sistem ekonomi yang menawarkan kebebasan dan
peluang yang setara. Namun, pada praktiknya, sistem ini lebih menyerupai
struktur kekuasaan yang kompleks, di mana monarki, oligarki, dan demokrasi
menyatu dalam satu lapisan. Seperti sebuah boneka matryoshka, kapitalisme menyembunyikan
dinamika kekuasaan yang sesungguhnya di balik narasi kebebasan pasar dan
demokrasi.
Amerika Serikat, yang kerap mengklaim sebagai negara paling demokratis,
adalah contoh nyata dari paradoks ini. Di bawah sistem kapitalisme, demokrasi
di Amerika tidak murni ditentukan oleh suara rakyat, melainkan sangat
dipengaruhi oleh uang. Kampanye politik di Amerika adalah ajang adu kekuatan
finansial. Kandidat dengan pendanaan terbesar dari sponsor korporasi cenderung
lebih mudah memenangkan pemilu, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif.
Ironisnya, uang pajak rakyat sering kali digunakan untuk mendukung
agenda yang tidak langsung berhubungan dengan kesejahteraan rakyat itu sendiri.
Contohnya adalah dukungan finansial besar-besaran kepada Israel, Ukraina, atau
pendanaan invasi ke negara lain atas nama keamanan dan demokrasi.
Pertanyaannya: siapa sebenarnya yang memutuskan kebijakan ini? Jawabannya
adalah oligarki—sekelompok kecil elit politik dan ekonomi yang memiliki
pengaruh besar terhadap keputusan pemerintah.
Dalam sistem kapitalisme, politik pasar mendominasi. Kandidat yang
memiliki anggaran kampanye terbesar dan mampu menguasai narasi di media massa
hampir pasti akan keluar sebagai pemenang. Demokrasi kapitalis ini ibarat
memilih pemimpin berdasarkan "investasi terbesar", bukan kompetensi
terbaik. Hasilnya, kebijakan yang dihasilkan sering kali lebih menguntungkan
investor politik ketimbang rakyat kebanyakan.
Politik Profetik sebagai Alternatif
Sebagai respons terhadap kegagalan kapitalisme dan demokrasi semu,
politik profetik menawarkan paradigma yang lebih adil. Politik profetik
menekankan pada nilai-nilai spiritual, moralitas, dan kebijaksanaan pemimpin.
Dalam diskursus pemerintahan, politik profetik
telah muncul sebagai alternatif ideal yang mengedepankan nilai-nilai etika,
moral, dan spiritualitas. Konsep ini berakar pada ide bahwa sistem pemerintahan
seharusnya tidak hanya berorientasi pada kekuasaan atau pragmatisme politik,
tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur yang menuntun pada kemaslahatan
bersama. Politik profetik mengacu pada teladan para nabi dan pemimpin besar
dalam sejarah yang memimpin dengan kebijaksanaan, keadilan, dan cinta kasih.
Politik Profetik dalam Pemerintahan Nabi Muhammad SAW
Hal ini dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW dalam membangun negara Madinah. Nabi Muhammad tidak hanya menjadi
pemimpin spiritual, tetapi juga pemimpin politik yang menerapkan keadilan
universal. Di Madinah, keputusan politik diambil berdasarkan nilai-nilai etika,
bukan kepentingan finansial. Kepemimpinan Nabi Muhammad berlandaskan pada wahyu
dan kebijaksanaan, bukan dukungan kelompok elit atau sponsor kaya. Sistem ini
menciptakan harmoni di masyarakat multikultural tanpa mengorbankan nilai-nilai
universal.
Nabi Muhammad SAW adalah contoh nyata dari politik profetik. Selama masa
pemerintahannya di Madinah, beliau menerapkan prinsip-prinsip keadilan,
persaudaraan, dan penghormatan terhadap perbedaan. Piagam Madinah, sebagai
konstitusi pertama dalam sejarah, mengatur kehidupan masyarakat multikultural
di Madinah dengan menekankan persatuan dan perlindungan hak-hak setiap
individu, termasuk non-Muslim. Nabi Muhammad tidak hanya bertindak sebagai
pemimpin politik, tetapi juga sebagai teladan moral yang mempraktikkan
nilai-nilai kasih sayang, kejujuran, dan keadilan.
Teladan dari Sejarah Kerajaan
Dalam sejarah Nusantara, Cina, Jepang, dan banyak kebudayaan lainnya,
politik profetik juga tercermin dalam kepemimpinan para raja. Raja-raja
Nusantara, seperti Hayam Wuruk atau Raja Airlangga, sering kali digambarkan
sebagai pemimpin yang bijaksana, adil, dan bahkan memiliki kekuatan spiritual
tinggi. Majapahit tidak hanya kuat secara militer, tetapi juga memprioritaskan
kerukunan antarsuku dan agama. Dalam ajaran Hindu-Buddha yang dianut, konsep
"Tri Hita Karana" (tiga sebab kebahagiaan) menjadi pedoman: harmoni
dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Raja-raja
Nusantara bahkan sering kali dianggap sebagai keturunan Pandawa melalui
Parikesit, mencerminkan legitimasi moral dan spiritual yang diharapkan dari
seorang pemimpin. Demikian pula, di Jepang dan Cina, garis keturunan raja
sering dikaitkan dengan dewa atau langit, memperkuat posisi mereka sebagai
pemimpin dengan kebijaksanaan dan tanggung jawab tinggi terhadap rakyat.
Dalam tradisi Cina, politik profetik tercermin melalui konsep
"Mandate of Heaven" atau mandat langit. Kaisar dianggap sebagai wakil
langit di bumi, yang bertugas memastikan kesejahteraan rakyat dan harmoni alam.
Kaisar Tang Taizong dari Dinasti Tang, misalnya, dikenal karena
kebijaksanaannya dalam memimpin, mendengarkan kritik dari para menteri, dan
memberlakukan kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Filosofi
Konfusianisme yang menekankan moralitas pemimpin menjadi dasar dari politik
profetik di Cina.
Raja Ashoka dari Dinasti Maurya di India adalah contoh lain dari politik
profetik. Setelah menyaksikan kehancuran dalam perang Kalinga, ia mengadopsi
ajaran Buddha dan mengubah cara kepemimpinannya menjadi lebih manusiawi. Ashoka
menekankan nilai-nilai non-kekerasan, keadilan sosial, dan toleransi. Ia mengukir
edik-edik di batu dan pilar untuk mengingatkan rakyatnya tentang pentingnya
hidup selaras dengan Dharma (kebenaran).
Di Jepang, politik profetik terlihat pada masa Restorasi Meiji, ketika
Kaisar Meiji memimpin transformasi besar-besaran untuk membawa Jepang menjadi
bangsa modern tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisionalnya. Restorasi Meiji
menunjukkan bagaimana seorang pemimpin dapat mengharmoniskan nilai-nilai
spiritual dan budaya lokal dengan tuntutan zaman modern.
Inspirasi dalam Film dan Literatur
Film-film epik sering menggambarkan politik profetik sebagai tatanan
yang ideal. Dalam cerita seperti "The Lord of the Rings" atau
"The Lion King", pemimpin yang bijaksana dan memiliki visi besar
dipilih bukan karena kekuatan fisik semata, tetapi karena moralitas dan
kesediaan mereka untuk berkorban demi kebaikan bersama. Politik profetik,
meskipun berakar pada nilai-nilai spiritual dan moralitas, sering kali diangkat
dalam kisah-kisah epik yang menggambarkan perjuangan kepemimpinan ideal di
tengah kekacauan. Beberapa karya populer seperti The Lord of the Rings, The
Lion King, dan Game of Thrones membawa unsur-unsur politik profetik, baik dalam
narasi maupun karakter pemimpin yang bijaksana. Berikut ulasannya:
1. The Lord of the Rings (2001-2003)
Dalam trilogi karya J.R.R. Tolkien yang diadaptasi oleh Peter Jackson,
politik profetik tergambar melalui perjalanan Aragorn, seorang keturunan raja
yang enggan menerima takdirnya sebagai pemimpin.
Elemen Politik Profetik:
Pemimpin yang Dipilih oleh Takdir: Aragorn adalah pewaris sah takhta Gondor, tetapi ia hanya menerima
takdirnya setelah melalui perjalanan panjang yang mengasah kebijaksanaannya. Ia
memimpin dengan moralitas, keberanian, dan pengabdian kepada rakyat.
Visi Keadilan: Ketika akhirnya menjadi
Raja Elessar, Aragorn menciptakan perdamaian di Middle-earth, mencerminkan
kepemimpinan yang berlandaskan nilai-nilai luhur.
Spiritualitas dan Kebijaksanaan: Gandalf sebagai mentor spiritual membantu Aragorn memahami peran moral
dan etika dalam kepemimpinannya, seperti seorang nabi yang membimbing seorang
raja.
2. The Lion King (1994)
Film animasi Disney ini secara eksplisit menggambarkan perjalanan
seorang pemimpin profetik melalui karakter Simba, seekor singa muda yang
kembali untuk merebut takhtanya setelah mengalami pengkhianatan dan
pengasingan.
Elemen Politik Profetik:
Warisan Kepemimpinan: Simba adalah pewaris takhta Pride Rock, tetapi harus menghadapi
tantangan untuk merebut kembali takhtanya dari pamannya, Scar, yang memerintah
dengan tirani.
Kebijaksanaan Spiritual: Simba dibimbing oleh Rafiki dan semangat ayahnya, Mufasa, untuk
menemukan kembali identitasnya sebagai pemimpin. Pesan spiritual ini
mencerminkan pentingnya keterhubungan dengan nilai-nilai luhur dalam memimpin.
Pemimpin yang Melayani Rakyat: Setelah mengalahkan Scar, Simba mengembalikan keseimbangan ekosistem,
mencerminkan pemimpin yang melindungi rakyat dan alam.
3. Game of Thrones (2011-2019)
Serial karya George R.R. Martin ini, meskipun penuh dengan intrik
politik dan pengkhianatan, tetap menyentuh aspek politik profetik melalui
beberapa karakter, terutama Jon Snow dan Daenerys Targaryen.
Elemen Politik Profetik:
Jon Snow: Seorang pemimpin yang
tidak mencari kekuasaan, tetapi diakui oleh rakyatnya karena moralitas,
keberanian, dan komitmen terhadap keadilan. Jon adalah contoh pemimpin yang
tidak mementingkan diri sendiri, melainkan berjuang untuk kebaikan bersama.
Daenerys Targaryen: Sebagai keturunan "House of the Dragon", Daenerys sering
dianggap sebagai figur profetik yang membawa visi pembebasan. Meskipun
ambisinya akhirnya melampaui moralitas, awal perjuangannya mencerminkan harapan
terhadap pemimpin yang berkomitmen untuk menegakkan keadilan.
Moralitas dalam Kekuasaan: Serial ini menggambarkan perjuangan antara etika dan pragmatisme dalam
politik. Kepemimpinan yang ideal dalam Game of Thrones adalah yang berlandaskan
kebijaksanaan dan keadilan, meski sulit dipertahankan di tengah korupsi
kekuasaan.
Politik Profetik untuk Masa Depan
Kapitalisme yang berlapis demokrasi dan oligarki telah menunjukkan
kelemahannya dalam menciptakan pemerintahan yang benar-benar adil. Politik
profetik, yang menempatkan moralitas, kebijaksanaan, dan tanggung jawab di atas
kepentingan pribadi atau kelompok, menawarkan solusi yang lebih manusiawi.
Dunia modern membutuhkan pemimpin yang tidak hanya terampil dalam
strategi politik, tetapi juga memiliki nilai-nilai luhur seperti yang
dicontohkan Nabi Muhammad SAW, para raja Nusantara, dan pemimpin besar lainnya.
Dengan demikian, politik profetik bukan hanya romantisme masa lalu, tetapi juga
jalan menuju tatanan dunia yang lebih berkeadilan. Kisah-kisah yang terdapat
dalam film dan literatur juga mengingatkan bahwa kepemimpinan sejati bukan
sekadar soal kekuasaan, tetapi soal melayani rakyat, menegakkan keadilan, dan
menjunjung nilai-nilai luhur. Politik profetik, seperti yang terlihat dalam
film dan serial ini, adalah pelajaran universal tentang arti kepemimpinan yang
sejati.
Politik profetik menawarkan pendekatan ideal untuk pemerintahan dengan
menempatkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan di atas kepentingan pribadi
atau golongan. Di era modern, politik profetik dapat diadaptasi untuk
menghadapi tantangan global seperti ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan,
dan krisis moral. Inspirasi dari Nabi Muhammad SAW, raja-raja Nusantara, serta
pemimpin-pemimpin besar di Cina, India, dan Jepang membuktikan bahwa politik
yang berlandaskan moralitas dan spiritualitas mampu menciptakan tatanan
masyarakat yang adil, damai, dan sejahtera. Dengan menanamkan nilai-nilai ini,
dunia dapat bergerak menuju peradaban yang lebih beradab dan manusiawi. Politik
profetik bukan hanya utopia, tetapi solusi nyata yang telah terbukti berhasil
dalam sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar