Ini adalah tulisan dari status
facebook beberapa tahun lalu, yang saya paraphrase dari salah satu buku bacaan
di perpustakaan yang pernah saya baca. Meski membahas tentang hakikat rezeki, tapi
cukup relevan dengan kehidupan kita saat ini seperti fenomena flexing ataupun
penipuan berkedok agama.
sumber :istockphoto |
Suatu hari ada ustadz yang
mengajak jamaah untuk bersedekah gila-gilaan, karena profesi ustadz sangat
disakralkan banyak jama’ah yang mengikuti. Alhasil, bukannya kaya tapi jama’ah ini jatuh miskin, harta yang
dijanjikan tidak kunjung datang. Apakah salah ayat-ayat yang dikutip oleh
ustadz ini? tidak! Hanya tidak sesuai jika disampaikan dan diterapkan pada
masyarakat awam.
Perlu kita ketahui, apa definisi
masyarakat awam. Masyarakat awam dalam istilah tasawuf dan quantum adalah
kita-kita ini yang masih berambisi pada kenikmatan dunia. Manusia yang masih
usaha keras untuk ikhlas, bekerja mengejar materi, menyukai harta, bernafsu
syahwat, suka makanan enak, kadang khilaf bergosip, ingin dipuji, suka ketenaran
dan jabatan, dsb.
Klo masyarakat awam, diistilahkan
dengan dengan beginner dlm belajar Bahasa inggris, maka ilmu yang disampaikan ustadznya adalah redaksi
yang harusnya bekerja pada level advance dan expert. Padahal kan sebelum advance
ada level intermediate yang belum kita kuasai. Maka jangan heran jika yang dijanjikan
ustadz tidak berhasil bagi kebanyakan orang.
Berikut ini gambaran rezeki level
intermediate vs advance versi yang mulia dua imam mahzab dalam Islam?
Tatkala Imam Syafi’i berkunjung ke kediaman gurunya Imam
Malik, terjadi dialog yang cukup serius antar keduanya. Perbincangan mereka
mengenai Rezeki. Sang Guru mengatakan bahwah rezeki itu datang karena
benar-benar tawakkal kepada Allah, Imam Malik mengutip sebuah hadis:
Ù„َÙˆْ تَÙˆَÙƒَّÙ„ْتُÙ…ْ عَÙ„َÙ‰ اللهِ ØَÙ‚ّ تَÙˆَÙƒُّله Ù„َرَزَقكم ÙƒَÙ…َا
يرزقُ الطَّÙŠْر تغدو خماصا ÙˆØªØ±ÙˆØ Ø¨Ø·Ø§Ù†Ø§
Jikalau engkau bertawakkal kepada Allah dengan
sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Allah akan memberikan kepadamu rezeki,
sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada burung ketika ia pergi dari
sangkarnya dalam kondisi lapar, kembali dalam kondisi kenyang. (HR. Imam
al-Baihaq, Lihat: Syu’ubul Iman Imam al-Baihaqi, Jilid: 2/100, dalam riwayat
yang lain dikatakan derajat hadis ini hasan shohih sebagaimana komentar Imam
at-Tirmidzi).
Karena menghormati gurunya, Imam Syafi’i tidak berani
langsung membantah tanpa argumentasi yang kuat, walaupun beliau tidak
sependapat dengan gurunya. Imam Syafi’i berfikir bagaimana jika burung itu
tidak terbang, niscaya tidak akan kenyang (tidak akan mendapatkan rezekinya)??
Sambil berjalan ia merenung dan berpikir, di tengah
perjalanan, beliau berjumpa dengan kakek tua yang sedang mengangkat sekarung
kurma sambil tertatih-tatih. Mendekatlah Imam Syafi’i untuk membantunya sampai
di antar ke rumah kakek tua tadi, karena beliau sudah susah payah membantu,
maka sang kakek memberinya sebagian dari kurmanya.
Imam Syafi’i akhirnya menemukan argumentasi yang kuat untuk
menguatkan pendapatnya tentang hadis tersebut, dan mengatakan, “Iya kan, kita
harus berusaha baru Allah akan memberikan rezeki kepada kita. Andai kata saya
tidak membantu kakek tadi, mungkin saya tidak akan mendapatkan kurma ini.”
Kemudian beliau menghampiri gurunya, Imam Malik, dan
menyampaikan peristiwa yang baru saja terjadi. Sambil Imam Syafi’i membawa
kurmanya yang juga sebagian kurma diberikan Imam Malik. Imam Syafi’i mengatakan
bahwa kita harus bersusah payah untuk mendapatkan rezeki.
Imam Malik hanya tersenyum dan mengatakan, “kamu yang
susah payah mendapatkan kurma ini, dan saya tidak perlu susah payah hanya tinggal
menikmatinya saja,” ucapnya sambil tersenyum lebar.
Kesimpulan : Ada rezeki yg datang tanpa melalui sebab, dan
ada jg rezeki datang harus melaui perantara.
Keduanya benar, Imam Syafii meyakini rezeki melalui usaha
dan Imam Malik melalui tawakal. pendapat Imam Malik menurut saya ini yg
tertinggi yaitu kekuatan keyakinan maksimal. ga perlu kita kerja keras cukup
kerja ikhlas yakin pada Allah maka melalui alam semesta dan malaikatnya bekerja
keras untuk memenuhi rezeki kita.
Saya rasa disinilah level keikhlasan, lapang dada, tawakal,
n berserah diri di uji. Bahwa tanpa menyakiti/mendzalimi siapapun, kita bisa
mendapatkan apapun.
Nah, dari cerita ini setidaknya dapat gamabran level kerezekian dalam kehidupan
kan? Jadi supaya kita tidak tersesat
lagi dalam janji-janji palsu, kuncinya adalah paham dimana level hidup kita.
Karena jika tidak mengenali diri sendiri maka kita akan terhindar dari dipusingkan
dengan level hidup orang lain yang malah menjadikan kita hamba yang kufur
nikmat.
Level hidup ini juga mengingatkan saya pada Syekh Siti Jenar
yang divonis sesat oleh Walisongo. Apa Siti Jenar benar-benar sesat, bisa iya
bisa tidak. Iya, dia sesat karena mengajarkan tasawuf pada masyarakat awam yang
belum paham benar ilmu syariat, . Tidak sesat, karena orang yang sudah ilmu
tasawufnya tingkat tinggi dengan mengesampingkan nafsu duniawi, Allah
memberikan mereka ilmu Laduni. Ilmu langsung dari Allah tanpa perlu belajar
seperti para Nabi dan wali.
Semua kembali pada kita, apakah akan berhenti sampai syariat dan gontok-gontokan siapa yang paling benar. Atau mendalami Islam makin dalam hingga mencapai ma’rifat seperti ulama-ulama masa lalu?Tidak ada yang mustahil bagi Allah, jika Berkehendak maka “Kun Fayakun!” Nothing is imposible. Tapi sebelumnya ukur diri, sudah sampai level mana kita? Hanya hati kita dan Allah yang tahu dimana level kita.
Wallahualam bissshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar