Berita yang sedang ramai perdebatan adalah
mengenai impor beras. Namun menurut saya impor beras hanya sebagian kecil dari
masalah pangan, ketenagakerjaan, ekonomi dan muaranya adalah kemakmuran
Indonesia. Hal yang menurut saya lebih substansial adalah mengkritisi dan
mengantisipasi data yang dilansir oleh Bappenas mengenai prediksi bahwa tidak akan
ada lagi profesi petani pada tahun 2063.
Dokumentasi pribadi |
Hal ini menurut saya adalah sebuah ancaman besar
dimasa depan. Mengapa? Jika demikian, Jangankan impor beras, mungkin sekedar
jagung, ketela, ubi, sayuran, buahan dan holtikultura lainnya Indonesia bakalan
impor semua. Tentu saja jika profesi petani hilang dari muka bumi ibu pertiwi,
Indonesia hanya akan jadi negara berpolusi, banyak pengangguran, dan tinggi
angka kriminalitas. Lalu apa alasan profesi petani diprediksi akan punah dari
muka bumi ibu pertiwi ini? Bappenas memberikan data kuantitatif, sedangkan saya akan berhipotesis secara kualitatif :
1. Profesi
petani dianggap rendah
Zaman
sekarang tidak dapat dipungkiri bahwa uang adalah hal yang penting (saya tidak
menyatakan “uang adalah segalanya”). Maka secara umum, suatu profesi dianggap
keren atau tidak adalah berdasarkan jumlah penghasilannya. Profesi petani dipandang
sebelah mata karena penghasilannya yang tidak pasti, sering hutang sana-sini, ditentukan
oleh masa panen, dan bahkan sudah panenpun kadang harganya hancur oleh
permainan harga pasar terlebih dengan datangnya barang impor.
2. Bekerja di
kota lebih menggiurkan
Keadaan profesi yang demikian, seringkali
menuntut seseorang ingin merantau di kota dengan harapan kehidupan yang lebih
baik. Terlebih melihat saudara atau tetangga yang terlihat lebih sukses setelah
merantau di kota. Hal inilah yang kemudian memicu tingginya arus urbanisasi
karena menganggap kehidupan di kota lebih menjanjikan kesejahteraan. Padahal
berdasarkan data Bappenas sendiri urbanisasi tidak memberikan sumbangsih besar
pada negara, malah menambah masalah di daerah kota. Terlebih bila urbanisasi
nekat yang tak punya keahlian dan keterampilan sehingga terpaksa tinggal di
kolong jembatan.
Apa urgensi profesi petani bagi kehidupan
sehingga perlu dilestarikan? Lalu bagaimana profesi petani agar tidak hilang? Dalam
buku sejarah, Nusantara pernah mengalami kejayaan pada zaman kerajaan Majapahit sebagai negara Agraris. Negara agraris
artinya suatu negara yang sebagian besar rakyatnya bergantung pada bidang
pertanian. Bergantung pada pertanian tidak berarti ketertinggalan, toh
Majapahit pernah berjaya sebagai negara agraris. Negara besar seperti Amerika
dan Cina juga memiliki sektor pertanian yang luas untuk menopang kehidupan
rakyatnya. Indonesia juga pernah dinobatkan sebagai negara swasembada pangan
pada tahun 80-an bahkan memberikan bantuan beras ke negara yang mednerita kelaparan pada kurun waktu itu
juga.
Hal yang disayangkan adalah sebagai negara
tropis yang dengan area pertanian yang luas, secara pertanian saat ini masih
kalah dengan Thailand. Hal ini karena kebijakan pemerintah di Thailand
bersinergi membantu perkembangan pertanian di negara tersebut. Sedangkan di
Indonesia sering kali kebijakan saling bertabrakan antara kementerian pertanian
dan kementerian perdagangan.
Urgensi
Pertanian bagi Kelestarian Alam dan Lapangan Kerja
Pertanian tidak sebatas menyediakan pangan yang
mempertahankan rakyat tetap hidup, melainkan lebih daripada itu yaitu juga mempertahankan ekosistem dan keseimbangan alam. Sama halnya dengan hutan, sawah
dan perkebunan mensuply udara bersih dan air yang dikeluarkan oleh
tumbuh-tumbuhan. Pertanian mungkin tidak sekeren bidang manufaktur yang lebih
menjanjikan penghasilan yang lebih tinggi, namun perlu diingat pada saat masa
force majeur/ krisis ekonomi, bidang pangan adalah yang paling tahan banting disaat
perdagangan yang lain lesu. Hal ini disebabkan makan adalah kebutuhan dasar
manusia yang perlu untuk dipenuhi.
Saya menganalisa bahwa Indonesia ingin dibawa
pada arah industrialisasi manufaktur, sebenarnya tidak masalah. Namun jangan
berarti mengesampingkan hal yang penting seperti pertanian. Sebab manufaktur
memiliki tantangan yang lebih besar lagi bila tidak diikuti dengan kedewasaan
AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Contoh saja Beijing Cina, yang dulu
pernah mengalami masalah lingkungan seperti polusi udara yang hitam pekat dan
hujan asam. Namun kini terselesaikan karena teknologi filter polusi raksasa
ditengah kota besar ini. Mampukah Indonesia menciptakan teknologi semacam ini
untuk mengantisipasi? Karena jika tidak siap, malah bikin rugi.
Pertanian
memberikan lapangan kerja yang murah meriah (dibandingkan manufaktur), dan tentunya dengan seseorang memiliki pekerjaan dapat menjadi andalan. Konsekuensiya akan mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan.
Dengan penurunan kemiskinan pemerintah tidak perlu dipusingkan lagi dengan Bansos, malah
sebaliknya petani yang penghasilannya lancar bahkan sukses bisa ditarik pajak
yang masuk ke negara. Seperti contoh budidaya porang dan ubi ungu yang di
ekspor ke Jepang, membuat petani yang tidak punya latar belakang pendidikan
tinggipun bisa kaya raya karena punya pasar hingga mancanegara. Maka
sebaiknya berdayakan ekspor yang dapat memberikan devisa dan pajak, daripada
impor yang menghilangkan lapangan pekerjaan dan melemahkan nilai tukar rupiah. (kecuali
dengan catatan tertentu karena kita tak bisa produksi sendiri).
Mencari
Solusi Dengan Saling Introspeksi dan Bersinergi
Tidak melakukan impor beras selama 3 tahun
adalah suatu prestasi gemilang yang seharusnya didukung dan merembet untuk
impor bahan pokok lainnya semisal kedelai. Mungkin akan ada sanggahan “tidak
semudah itu, Ferguso… karena Bulog nyatanya tidak mampu menyerap gabah petani,
gabah petani basah, dsb.” Maka yang jadi masalah adalah urusan distribusi, bukan
produksi dan konsumsi. Berarti Bulog perlu mengadaptasi dan
mengoptimalkan teknologi, bagaimana agar terjadi persebaran yang merata di seluruh Indonesia.
Demikian pula kementerian pertanian juga perlu mngubah cara penyuluhannya tidak
sebatas cara menanam, memupuk, menyemprot hama dan memanen, namun juga mengedukasi petani agar memanfaatkan
teknologi aplikasi untuk kemanfaatan pertanian. Baik berupa aplikasi yang memfasilitasi penjualan ke Bulog atau ke
tengkulak yang “baik hati” seperti sistem start up pertanian saat ini (Tanifund, tanihub, i-grow, vestifarm, dll).
Terobosan pertanian yang tidak kalah untuk
diapresiasi selain Budi Waseso yang membantu Indonesia tidak impor beras selama 3 tahun, yaitu datang dari gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Ridwan Kamil dengan program "petani milenial jabar" setidaknya telah diminati oleh 6000 orang milenial dengan disiapkannya lahan sebanyak
1000 hektar. Program ini sangat baik untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi
pengangguran. Namun akan gagal bila tak ada koordinasi yang sinergis yaitu
dengan adanya impor yang sering kali menghancurkan harga panen dan membuat
petani putus asa.
Bila Program pertanian Jawa Barat ini berhasil seharusnya dapat
ditiru oleh pemerintah daerah lain. Setidaknya ini merupakan alternatif paling sederhana untuk
menciptakan lapangan kerja. Minimal bisa menjadi negara swasembada pangan lagi dan mampu menyaingi Thailand lah ya.., atau bahkan bisa
lebih baik karena lahan di Indonesia lebih luas dan penduduk usia produktif
yang lebih banyak. Sehingga prediksi Bappenas bahwa tahun 2063 Indonesia akan
kehilangan profesi petani dapat diantisipasi bahkan tidak akan pernah terjadi.
Sekali lagi, masalah pangan kita bukan karena
tanah kita yang tandus sehingga tak bisa ditanami. Melainkan masalah distribusi dan
perlunya pemimpin daerah dan pusat yang merakyat sehingga kebijakan yang
dikeluarkannya adalah yang memikirkan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat. Tentunya yang paling utama adalah kemauan untuk saling bersinergi.
Wallahu a’lam Bisshowab
Referensi :
https://money.kompas.com/read/2021/03/23/190000426/bappenas-tak-ada-lagi-profesi-petani-pada-2063
Tidak ada komentar:
Posting Komentar