“Boleh
jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi
kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah 216)
Saya
meyakini bahwa Tuhan, Alam, dan manusia adalah kesatuan yang saling berhubungan
satu sama lain. Dalam konsep jawa disebut dengan “Manunggaling Kawulo Gusti” yang
berarti Sang
Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk (ilmu hakikat). Dengan kembali kepada Tuhannya
berarti manusia telah bersatu dengan Tuhannya. Konsep ini di Indonesia awalnya
diperkenalkan oleh Syeh Siti Jenar dimana kemudian disalahpahami sebagai sesat
karena kesalahan interpretasi atau bisa jadi Siti Jenar yang tidak lihai
menyampaikannya. Konsep ini di Timur Tengah sudah terlebih dahulu ada dan
dipopulerkan oleh Al-Hallaj dan Jalaludin Rumi penyair yang terkenal di
Indonesia. Walaupun Dalam tulisan ini
saya ingin membahas bagian paling sempit namun tak kalah penting dari semesta ini yaitu korelasi Hukum Tuhan, Hukum Alam, dan Hukum Manusia
dalam perspektif ilmu hakikat (tersirat) dibalik ilmu syariat (tersurat) hukum dalam Al Quran.
Sumber : rmol.id |
Banyak dari
kita melihat bencana alam sebagai azab terhadap perilaku manusia. Bahkan pada
tahun lalu 2020, Paus Fransiskus sempat menyalahkan kaum LGBT sebagai penyebab
wabah Corona di dunia. Hingga kemudian beliau sendiri tertular covid, yang bagi
orang-orang pro LGBT akan membalasi bahwa Sang Paus kena azab atau karma. Lalu
apakah dengan pernyataan seperti itu berarti Paus benar atau salah? Menurut
saya pribadi jawabannya adalah benar dan salah. “Benar” karena Liwath/LGBT
adalah salah satu faktor penyebab musibah. Namun juga “salah”, karena Paus
hanya menyebutkan salah satu penyebab diantara banyak faktor yang tidak
disebutkan. Sehingga terjadi ketidakadilan dalam menanggung stereotype. Dimana
dalam hal ini hanya ditujukan kepada LGBT saja padahal pendosa lainnya turut
andil juga.
Kemarahan/gejolak alam itu dari perspektif spiritual karena banyak faktor. Faktor
pertama, Dosa manusia. Dosa manusia sendiri itu banyak tak hanya LGBT, seperti pembunuhan, fitnah, gibah, kecurangan, penipuan, pencurian, berzina, berjudi,
mabuk, dan lain sebagainya yang dilarang di kitab suci. Faktor Kedua, pertanda akan munculnya hari kiamat dimana bagi manusia
yang peka maka akan segera bertaubat. Sehingga ketika matahari nanti terbit
dari barat, manusia tidak lagi bertanya-tanya “ada apa, ada apa?” Kemarin alam
bergejolak, lu kemana aja? Faktor ketiga,
Ujian keimanan dan penggantian rezeki/umat
yang lebih baik. Segala hal buruk terjadi tidak selalu berarti keburukan
selamanya. Contoh kemarin ketika Turki diguncang gempa, beberapa bulan kemudian
ditemukan cadangan gas bumi yang luar biasa. Atau contoh terdekat adalah
Merapi, salah satu gunung paling aktif, namun setiap meletus mengeluarkan material
vulkanik yang berharga bagi warganya dan kesuburan bagi tanahnya. Dan mungkin
faktor lain yang diluar batas pemikiran saya.
Hukum Tuhan (Allah) yang Mulai Ditinggalkan
Meskipun penting berpikiran positif,
namun tidak seharusnya menjadikan kita lemah terhadap kejahatan/kebatilan dan kedzaliman
di muka bumi. Karena bencana alam bisa saja terjadi karena manusia sebagai
khalifah lemah tak bisa melaksanakan hukum Tuhan (yang telah mengangkat manusia
sebagai khalifah-Nya) di bumi maka Tuhan menunjuk alam yang menggantikan peran tersebut.
Dalam sejarah, Tuhan telah mengutus 124.000 nabi dengan 312 diantaranya adalah
Rosul termasuk Nabi Muhammad sebagai pamungkas mereka semua, membawa kabar
gembira sekaligus peringatan yang harusnya kita terima, bukan pilah-pilih
seenak nafsu manusia. Ketika seorang Nabi/Rosul gagal tak bisa membawa umatnya kembali pada jalan Allah. Jalan terakhir yang diambilNya biasanya adalah dihancurkan melalui kekuatan alam. Bila melihat aturan hukum kekinian, kenyataan berapa banyak hukum Tuhan kita tinggalkan
karena menurut kita tidak berperikemanusiaan?
Sebut saja mencuri dihukum potong
tangan, zina dihukum rajam, pembunuhan
dengan hukum Qishash, dan sebagainya yang terdapat dalam Al Quran dianggap
hukuman tidak manusiawi oleh seluruh umat di dunia bahkan oleh umat Islam
sendiri. Sehingga manusia menciptakan hukum sendiri yang dirasa lebih manusiawi
sebagai pengganti. Bukankah dengan demikian
sama saja tidak patuh dengan perintah Tuhan? Padahal Allah berfirman “Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik
bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu.
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Berikut
ini saya akan memberikan ilustrasi dari kisah nabi Musa dan nabi Khidr yang diambil
dari surat Al-Kahfi ayat 60-82 bahwasanya Nabi Musa meminta Nabi Khidr agar
bisa mengikutinya kemanapun. Namun Nabi Khidr menjawab bila
Nabi Musa tidak akan sabar bersamanya.
Nabi Khidir meminta agar Nabi Musa tak
menanyakan apa pun sampai Nabi Khidir sendiri yang menjelaskannya. Keduanya pun melakukan
perjalanan dengan menaiki sebuah perahu. Namun, di tengah perjalanan Nabi
Khidir melubangi perahu itu. Melihat hal
itu, Nabi Musa bertanya alasan melubangi perahu. Sebab, hal itu bisa membuat
penumpang di atasnya tenggelam. Nabi Khidir pun mengingatkannya bahwa Nabi Musa
tidak akan tahan bersamanya.
Cerita Nabi Khidir selanjutnya, saat ia
bertemu dengan seorang anak muda dan membunuhnya. Nabi Musa pun bertanya-tanya
penuh misteri alasan perbuatan mungkar itu. Nabi Khidir pun lagi-lagi
mengingatkan Nabi Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar ketika tengah
bersamanya. Mereka pun berjalan bersama kembali hingga di sebuah kota.
Sesampainya, mereka berdua meminta untuk dijamu oleh penduduk.Tetapi para penduduk tidak mau menjamu mereka. Nabi Khidir pun melihat terdapat dinding rumah yang hampir roboh dan membenarkannya. Melihat hal itu, Nabi Musa pun mengatakan bahwa Nabi Khidir bisa meminta imbalan sebagai gantinya. Mendengar itu, Nabi Khidir pun memutuskan untuk berpisah dengan Nabi Musa.
Nabi
Khidr juga
menjelaskan berbagai pelajaran yang terjadi selama perjalanan kepada Nabi Musa.
Nabi Khidir mengatakan bahwa perahu yang ia lubangi merupakan milik orang
miskin.
Sedangkan, di depannya terdapat raja yang merampas
setiap perahu. Sehingga hal itu dilakukan untuk menyelamatkan perahu tersebut.
Kemudian, anak muda yang dibunuh merupakan
seorang kafir. Sementara, kedua orang tuanya adalah mukmin sehingga Nabi Khidir
khawatir jikalau sang anak bisa membawa orang tuanya dalam kekafiran.
Terakhir, Nabi
Khidir menjelaskan kepada Nabi Musa perihal dinding rumah yang ia perbaiki.
Menurutnya, rumah tersebut miliki dua anak yatim dan di bawahnya tersimpan
harta bagi mereka berdua.Ayahnya merupakan orang yang soleh. Allah SWT pun
menghendaki agar saat dewasa dapat mengeluarkan simpanan tersebut dalam rumah
yang aman.
Hikmah Dibalik Peristiwa dan Hukum Tuhan Yang Tidak Kita
Pahami
Kisah ini mengandung tema besar utama
yaitu pada dasarnya kita semua manusia seperti Nabi Musa yang melihat peristiwa
secara actual atau saat itu saja. Sedangkan hukum-hukum Allah seperti persona
yang diwakili Nabi Khidr yang pengetahuannya meliputi masa lalu, masa kini, dan
masa depan alias tanpa batas, namun manusia terbatas. Hukum yang tidak dijalankan sebagaimana Kehendak Tuhan pada akhirnya menyebabkan chaos. Kedzaliman yang dibiarkan akan
membunuh keadilan itu sendiri yang kemudian membuat kedzaliman berkuasa.
Seperti yang terjadi di Suriah membiarkan pemimpin dzalim berkuasa sehingga
rakyatnya tersiksa. Tak peduli rakyat ini punya sifat baik atau jahat. Kalau penguasanya
dzalim, semuanya menderita.
Membunuh atau menghilangkan nyawa atau
hukuman lain yang membuat jera pada sebagian kecil manusia dzalim yang dihukumi
dengan hukum Tuhan adalah seperti antisipasi kemudharatan yang lebih besar
sebagaimana kisah Nabi Khidr dan Nabi Musa. Menurut analogi saya, menghukumi
orang-orang dzalim sesuai hukum Tuhan itu
seperti menghilangkan benalu dari pohon yang rindang, karena jika
dibiarkan pohon akan diinvasi benalu kemudian mati. Atau seperti sel kanker
yang terlanjur membusuk pada tubuh bagian tubuh tertentu manusia sehingga perlu
dipotong atau dihilangkan agar bagian tubuh lain tidak tertular membusuk juga
sehingga berbahaya bagi nyawa yang punya tubuh. Artinya, jika tidak dienyahkan
dari bumi akan membawa kemudharatan atau kesialan yang lebih besar bagi orang
baik/ tidak bersalah sekalipun. Karena seperti virus, sifat buruk juga bisa menular.
Bencana alam bisa jadi pemurnian iman,
bukan berarti yang meninggal dihukumi sebagai pendosa. Bisa jadi kematian
tiba-tiba adalah sarana penghilang dosanya , kita tidak pernah tahu. Karena
dasarnya kita semua adalah pendosa dan maukah bertobat sebelum terlambat?
Karena bisa jadi bukan azab, namun tanda-tanda kiamat? Apakah ketika dunia
berakhir baru kita tersadarkan bahwa selama ini kita terlenakan oleh buaian
dunia yang fana? Jika memang dalam rangka pemurnian, maka mari saling mendoakan
dan menjadi sarana introspeksi. Jika memang hukum alam yang telah mengambil alih hukum
manusia? Bisa jadi hukum Tuhan tidak dilaksanakan oleh manusia sebagaimana
mestinya sehingga berakibat kedzaliman telah terjadi dimana-mana. Maka Tuhan mengutus alam
untuk menggantikan peran manusia yang seharusnya menegakkan hukum secara adil.
Wallahua’lam Bisshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar