Tempo hari terdapat berita yang viral
di Internet bahwa sebuah mobil Daihatsu Ayla menyeruduk secara sengaja sebuah
motor CBR 1000. Hal yang menarik menjadi perhatian warganet adalah perbandingan
harga yang bagai bumi dan langit, dimana harga 1 motor CBR 1000 setara dengan
harga 6 Daihatsu Alya. Namun, ada hal lebih penting yang terlewat dari
perhatian itu adalah keselamatan jiwa pengendara motor yang karena ditabarak
secara sengaja mengalami patah tulang. Mengetahui harga motor yang jauh dari
harga mobilnya, kemudian si pengendara mobil mengiba bahwasanya dia miskin dan
mobilnya hasil kredit. Selain itu, dia rela memberikannya secara cuma-cuma
beserta rumah tempat tinggalnya. Secara rupiahpun itu tidak menutup rugi
kerusakan motor yang mahal itu dan cidera tulang yang tentu akan terus berbekas
seumur hidup. Pertanyaan yang lain, jika yang ditabrak bukan motor yang mahal,
berkenankah si pengendara mobil memberikan mobil beserta rumah untuk korban
yang ditabraknya atau sekedar ganti rugi? Pejalan kaki misalnya yang fakir dan miskin. Lalu seperti apa fenomena kecelakaan
lalu lintas di Indonesia? Dan bagaimana karakter manusia bisa menjadi
pemengaruh utama?
Menurut data Kepolisian, rata-rata terdapat 3
orang meninggal setiap jam akibat kecelakan di jalan. Faktor terbesarnya adalah
karena faktor manusia yaitu kemampuan dan karakter pengemudi sekitar 61%, 30%
faktor sarana-prasarana, 9% faktor kendaraan. Melalui data yang dikutip
dari situs Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tercatat 1,35 juta orang meninggal
dunia tiap tahun karena insiden kecelakaan pengendara motor dan mobil di
seluruh dunia. Kebanyakan dalam rentang usia produktif antara 5-29 tahun.
Dengan 73% diantaranya laki-laki muda usia dibawah 25 tahun. Data lain
menunjukkan bahwa 90% kematian akibat kecelakan tersebut adalah dinegara-negara
menengah bawah termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, selama tahun 2019
korban kecelakaan mencapai 107.500 dengan yang meninggal sebanyak 23.500 orang.
Gambar : Lalu lintas (sumber :gettyimages) |
Dari
data diatas setidak ada 3 hal yang dapat saya analisa:
1. Gegar Teknologi
Negara
maju seperti Eropa dan Asia Timur yang telah melewati revolusi kendaraan dari
mulai tenaga kuda, tenaga uap, hingga kini tenaga fosil sehingga lebih menyukai
bepergian dengan kendaraan umum. Masyarakat di negara lebih maju juga telah
sadar krisis iklim dan pentingnya menjalankan hidup aktif yaitu budaya jalan
kaki dan bersepeda.Sedangkan negara-negara menengah bawah/ berkembang seperti
di Indonesia, lebih suka dan bangga menggunakan motor dan mobil terlebih milik
pribadi. Hal ini salah satunya disebabkan infrastruktur jalan yang belum siap
dan tidak seluruhnya merata dengan fasilitas seperti kereta api atau bus umum.
Selain itu, negara menengah bawah juga tidak mengalami perkembangan teknologi secara bertahap sebagaimana negara maju kecuali kalangan elit pada masanya. Berdasarkan penelitian Stanford University di Amerika Serikat, Indonesia merupakan negara paling malas berjalan kaki di seluruh dunia. Studi ini mengungkap, rata-rata orang Indonesia hanya berjalan 3.513 langkah setiap hari. Kemudian disusul Arab Saudi 3.807, Malaysia 3.963,Filipina 4.008, dan Afrika Selatan 4.105.
2. Kepemilikan Kendaraan Dianggap Mengangkat
Harga Diri
Sebenarnya tidak hanya di Indonesia yang mengakui bahwa kepemilikan kendaraan
mengangkat status seseorang, namun di Indonesia bisa dikatakan lebih ekstrim.
Di negara maju terdapat aturan tak tertulis mengutamakan pejalan kaki dan
pesepeda, sebaliknya di Indonesia pejalan kaki dan pesepeda dianggap orang tak
punya yang seharusnya mengalah. Hal ini dibuktikan dengan ramainya pemotor yang
menggunakan trotoar pejalan kaki bahkan pengendara mobil dan motor sering
melanggar aturan dengan menggunakan jalur lambat pesepeda.
Tidak hanya itu, kebiasaan nyinyir masyarakat juga memaksa orang memiliki kendaraan bermotor karena bila terdapat teman yang berjalan kaki biasanya akan disindir “kayak orang miskin saja”. Sehingga karena tidak mau dicibir, maka orang-orang memaksakan diri untuk membeli motor dan mobil walau kadang cicilan kreditnya melebihi batas kemampuannya. Bagi warga Indonesia, agak berlawananan dengan prinsip ekonomi dimana kendaraan bukan liabilitas, melainkan “asset” karena dapat meningkatkan prestis. Dalam kesadaran kolektif masyarakat yang baru mengenal teknologi maju, mobil dianggap prestis lebih tinggi daripada motor. Maka tak heran seperti cerita diawal, dengan sombong dan sengaja pengemudi Ayla menubruk CBR1000 tanpa mengetahui bahwa ternyata harga motor yang ditabraknya jauh lebih mahal.
3. Ketidakmatangan Emosi
Dari
banyaknya kasus kecelekaan lalu lintas, dimana 73% diantaranya adalah berusia
laki-laki dibawah 25 tahun, menunjukkan bahwa pada usia-usia tersebut rentan
terhadap stabilitas emosi. Bahkan tidak jarang usia-usia remaja 15-18 tahun
yang sedang mengalami perubahan hormon sehingga berpengaruh pada focus dan
konsentrasi dalam mengendarai kendaraan. Seperti merasa tersinggung/ marah
karena disalip atau kendaraannya disenggol sehingga kebut-kebutan.
Ketidakmatangan emosi kadang juga dimiliki oleh orang-orang dewasa Indonesia,
misalnya tidak memberi jalan untuk ambulance yang lewat padahal sudah dibunyikan
sirine. Menggunakan jalur busway, melawan arah lalu lintas, serta tidak sabar
membunyikan klakson berulang-ulang padahal tahu jalan yang dilaluinya sedang macet.
Sumber: id.depositphotos.com |
4.Peraturan yang Tidak Tegas
Peraturan tidak
tegas tidak hanya muncul dari aparat berwajib, melainkan juga orang tua
pengendara. Dari sisi aparat adalah pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) dengan
sistem tembak atau tanpa tes yang biasanya melalui calo. Jalan pintas ini lebih
dipilih masyarkat karena waktunya yang relatif singkat, dapat mengubah usia
seseorang menjadi lebih tua, tanpa direpotkan dengan kemampuan mengendarai yang
mahir atau tidak.
Ketidaktegasan orang tua adalah menyayangi anak dengan cara yang salah,
salah satunya yaitu sudah mengizinkan mengendarai mobil/motor dari usia SMP
bahkan SD. Hal ini tentu berbahaya jika dilakukan di jalan raya, karena tidak
hanya berbahaya bagi orang lain tapi juga nyawanya. Seperti kejadian beberapa
bulan lalu, beberapa anak ABG yang harus meregang nyawa di usia belia 17 tahun
dengan mobil rental di luar kota dalam keadaan mabuk ketika melaju dijalan Magelang-Jogja.
Entah dengan sepengetahuan orang tuanya atau tidak, tapi tentu saja orang tua
berkontribusi membentuk mental anak hingga berakibat demikian. Selain dari
kejadian ini, banyak kejadian lain dimana orang-orang usia remaja tewas sia-sia
dalam kecelakaan karena ceroboh atau ugal-ugalan naik motor/ mobil.
Gambar : Tanda lalu lintas. Sumber :all-free-download.com |
Sampai
hari ini nyatanya korban meninggal di Indonesia akibat kecelakaan masih lebih
tinggi dibanding yang meninggal karena
covid-19. Pada saat artikel ini ditulis, covid-19 telah menelan
korban jiwa sebanyak 15.700 orang di Indonesia, sedangkan jika dibandingkan
dengan kecelakaan lalu lintas tahun 2019 sebanyak 23.500 orang. Meski demikian,
terdapat korelasi tidak langsung antara penggunaan kendaraan energi fosil yang
menghasilkan emisi karbon dengan covid-19. Semakin tinggi emisi karbon akibat
kendaraan bermotoor semakin mempengaruhi perubahan iklim. Ketika iklim tidak
stabil, akan memudahkan ancaman virus termasuk corona berkembang pesat di dunia
karena terjadi ketidakseimbangan alam.
Maka mari manfaatkan kendaraan dengan bijaksana, bukan sekedar gaya-gayaan saja. Apalagi jika tak cukup matang secara emosi dan tak cukup mampu mengendarai yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban lagi akibat kecelakaan. Meminimalisir penggunaan kendaraan bermotor, akan meminimalisir kecelakaan dijalan, disisi lain menekan perubahan iklim, dan mencegah perkembangan virus yang berbahaya. Kecelakaan dijalan akan minimal suatu hari nanti ketika pengemudi sudah menggunakan sistem Artificial Intelegent (AI) dan perubahan iklim dapat ditekan ketika mobil listrik sudah seramai mobil emisi karbon saat ini. Namun sebelum itu terjadi, sebaiknya kita perlu mengendalikan diri. (NK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar