“If I had a choise of
educating a boy or a girl, I would educate the girl. If you educate a boy, you
educate one. If you educate a girl, you educate a generation.”
Budaya patriarki
telah melekat diberbagai kebudayaan di seluruh dunia. Hal ini tentu saja
menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan tidak terkecuali dalam bidang
pendidikan. Padahal pendidikan merupakan kunci utama untuk mencapai pengetahuan,
karir, dan kehidupan yang lebih baik. Terlebih bagi seorang perempuan yang
merupakan calon ibu yang melahirkan dan menjadi pendidik pertama bagi
anak-anaknya, pendidikan menjadi hal yang sangat penting. Sebagaimana yang disampaikan
Brigham Young bahwa mendidik perempuan sama dengan mendidik satu generasi. Ungkapan
tersebut membuktikan betapa pentingnya pendidikan bagi perempuan karena
perannya sebagai ibu yaitu madrasah/sekolah pertama anak-anaknya.
Namun pada
implementasinya, kesetaraan perempuan baik dalam politik dan pendidikan masih
dipandang sebelah mata. Peran ibu yang luhurpun masih mendapat diskriminasi
oleh masyarakat, terlebih bila sang ibu lulusan sarjana atau bahkan master namun memilih fulltime bekerja sebagai ibu rumah
tangga .Ya, para tetangga masih memberikan celaannya seperti kata-kata “
Percuma sekolah tinggi kalau cuma sekedar jadi ibu rumah tangga”. Seolah
berpendidikan tinggi adalah untuk bekerja, padahal pendidikan pada intinya
adalah untuk menuntut ilmu, mencerahkan pikiran, dan memberi makna pada kehidupan.
Di daerah
perkotaan, berapa banyak ibu rumah tangga yang tidak bekerja secara formal
namun tetap berpenghasilan karena ilmunya dimanfaatkan untuk bisnis online atau
UKM? Berapa banyak pula yang suaminya memilih berhenti bekerja karena membantu bisnis
istrinya yang berkembang pesat di rumah? Stereotype-stereotype
bahwa berpendidikan tinggi harus bekerja seperti ini yang perlu ditanggalkan
oleh masyarakat tentang makna pendidikan bagi perempuan. Pendidikan tidak
sekedar untuk bekerja, melainkan adalah untuk berpengetahuan dan berpenghasilan. Ibu yang bisa memperkuat rumah tangga, baik bekerja didalam maupun
diluar rumah. Serta menjadi ibu yang berbagi peran dengan Ayah baik secara ekonomi maupun
ideologi.
Sumber : Pexels |
Mengapa saya
mengatakan berbagi peran baik secara ekonomi dan ideologi? Karena ketidaksetaraan jender seolah sudah
terwariskan dalam alam bawah sadar perempuan maupun laki-laki. Sehingga meskipun perempuan
sudah melakukan pekerjaan karir, pekerjaan rumah tangga tetap menjadi tugasnya
atau melakukan double job. Hal ini sudah terdogma dari dulu kala bahwa laki-laki bekerja di sektor publik sedang perempuan
bekerja di sektor domestik. Walau sesungguhnya peran tersebut dapat dinegosiasikan
dan saling berbagi antara ayah dan ibu.
Berbeda dengan stereotype pendidikan perempuan di
perkotaan yang harus melakukan double job,
daerah pedesaaan mengalami dilema yang berbeda. Paradigma lama yang
mengharuskan perempuan bekerja di sektor domestik, masyarakat desa tidak
mengutamakan pendidikan bagi perempuan. Hal inilah yang paling menghambat
kemajuan bangsa. Betapa tidak? Kasus dipedesaan rata-rata adalah permasalahan
klasik seperti hamil diusia terlalu muda yang berakibat pada tingginya kematian
ibu hamil, perceraian dini, anak-anak stunting/
kerdil, balita kurang gizi, dan lemahnya berpikir bagi anak-anak yang
dilahirkan sehingga tidak memiliki potensi untuk memperbaiki nasib rendahnya sosial ekonomi keluarga.
Selain itu, rendahnya
pendidikan dan perekonomian rumah tangga, terkadang memaksa beberapa perempuan
menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) ilegal. Berbeda dengan PMI legal yang
telah dibekali kemampuan/keahlian dan mendapat izin resmi oleh negara, PMI illegal ini berpotensi
membahayakan nasibnya sendiri, dan bahkan menjatuhkan harga diri bangsa Indonesia
karena kekurangcerdasannya. Berapa banyak kasus PMI – PMI di negara lain yang
harus menderita karena kurang pendidikan sehingga tidak menerima gaji? Tak hanya itu, bahkan beberapa harus dihukum mati di luar negeri karena mudah dibohongi dan tidak pandai beradaptasi? Ternyata tidak hanya berkisar dalam hitungan jari atau daapt dikatakan sering kali terjadi.
Dari semua ini, hal yang
perlu kita camkan bersama, seperti yang dikatakan Najwa Shihab juga bahwa “Tak ada
pemberdayaan lebih kekal berkelanjutan, tanpa melibatkan perempuan.” Karena bagaimanapun
berdasar jumlah penduduk Indonesia tahun 2020 setidaknya ada 134,27 jiwa
perempuan dari total 269,6 juta jiwa.
Dari jumlah tersebut, artinya perempuan adalah hampir 50% dari jumlah
warga negara Indonesia secara keseluruhan. Setengah jumlah populasi memilki peran signifikan untuk menopang pembangunan. Maka perlu adanya penguatan peran
perempuan diberbagai bidang, seperti politik dengan memenuhi kuota anggota legislatif dan eksekutif minimal 30%. Penguatan
peran dalam bidang ekonomi bisnis UKM yang memberikan lapangan pekerjaan sampai
93% penduduk Indonesia. Dan tentunya masih banyak lagi bidang kehidupan lainnya
yang perlu peran serta perempuan juga.
Sumber : Educenter.id |
Saya mendukung
program dari EduCenter sebagai mall edukasi pertama di Indonesia, menyadari pentingnya
pendidikan untuk mengejawantahkan penyetaraan gender serta menguatkan peran perempuan
di masyarakat luas. Perubahan besar tidak akan terjadi tanpa suatu langkah
kecil. Sekecil apapun tulisan tersebut,
saya memilik harapan yang sama dengan EduCenter yaitu berharap akan adanya
perubahan postitif didunia ini. Dimulai dari karya tulis sederhana ini,semoga menjadi
salah satu saluran inspirasi bagi orang-orang lainnya di luar sana dalam bidang
pendidikan. Penguatan peran dan kesetaraan dalam bidang pendidikan adalah
yang terutama, karena cikal bakal kesetaraan dari berbagai sektor yang akan
mendukung cita-cita bangsa untuk mewujudkan generasi unggul masa depan
Indonesia.
#educenteridReferensi:
Kata Data, 2020. Inilah Proyeksi Jumlah Penduduk Indonesia 2020. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/01/02/inilah-proyeksi-jumlah-penduduk-indonesia-2020. Diakses tanggal 20 April 2020