Legalisasi ganja sempat mencuat
kembali beberapa waktu lalu setelah anggota DPR melontarkan usulan agar
Indonesia mengekspor ganja keluar negeri sebagai komoditas yang menguntungkan. Sebelumnya, legalisasi ganja sempat menjadi
polemik di masyarakat setelah kasus Fidelis yang menanam dan memanfaatkan ganja untuk mengobati
istrinya yang sedang sakit parah. Meski demikian, kasus ini menjadi isu
nasional yang menyebabkan kegaduhan publik antara pro dan kontra perihal
pelegalan ganja. Lalu layakkah ganja di legalkan di negeri Indonesia ini?
Kontroversi bahwa ganja membawa
manfaat atau mudharat telah bergulir sejak dahulu kala. Seperti pada umumnya
narkotika, ganja membawa manfaat bila dimanfaatkan dengan benar dan oleh
orang-orang yang telah memiliki otoritas sesuai dengan Undang-Undang yang
berlaku. Disisi lain dapat mendatangkan mudharat bila disalahgunakan oleh
orang-orang yang tidak memiliki otoritas karena dapat membahayakan hidupnya.
Berikut ini alasan orang awam mengapa ganja bermanfaat namun juga
bermudharat :
Beberapa jurnal penelitian meng-klaim
manfaat ganja, namun kepopuleran ganja medis dinilai sebagai sensasi belaka.
Hal tersebut tertuang dalam studi ilmiah terbaru yang diterbitkan jurnal Lancet
Psychiatry. Peneliti melakukan skrining terhadap 83 studi efek kanabinoid pada
orang dengan masalah kesehatan mental dan neurologis termasuk depresi,
kecemasan, sindrom Tourette, ADHD, PTSD. dan psikosis.
Meski
menemukan hasil positif di sana-sini, beberapa penelitian belum menunjukkan
bukti bahwa kandungan CBD-THC pada ganja medis dapat mengurangi gejala
kecemasan dan gejala tertentu PTSD.Bahkan hasil positif yang dirasakan pasien
mungkin tidak langsung disebabkan oleh penggunaan ganja medis namun oleh faktor
lain termasuk sugesti manfaat ganja untuk bidang kesehatan sedang diteliti
secara ilmiah.
Para
peneliti mencatat bahwa ganja medis sering diresepkan untuk pasien yang depresi
dan mengalami kecemasannya sebagai kondisi sekunder dengan penyakit kronis
sebagai diagnosis primer. Jadi peneliti kesulitan melihat bagaimana obat bekerja.Selain
itu, banyak orang tidak menggunakan kanabinoid tingkat farmasi, dan sebuah
badan penelitian mengatakan bahwa menggunakan ganja non-medis dapat memperburuk
gejala kesehatan mental.
Sementara
itu, legalitas ganja bervariasi dari satu negara ke negara lain sehingga
menciptakan pasar gelap dan abu-abu. Bahkan sebagian besar produk turunan ganja
tidak termasuk dalam bidang Administrasi Makanan dan Obat-obatan Amerika
Serikat. Sampai saat ini di negara ASEAN hanya Thailand yang telah melegalkan
ganja medis, sedangkan Malaysia sedang mempertimbangkan aturan yang sama.Untuk
di Indonesia, ganja masih menjadi musuh negara. Betapa tidak? Sampai saat ini
manfaat dan mudharatnya tidak seimbang. Hal ini terbukti dengan data BNN tahun
2019 yang menyatakan bahwa lima jenis
narkoba terbanyak disalahgunakan dalam 1 tahun
terakhir adalah Ganja (65,5%),
Shabu (38%), Ekstasi (18,7%), Pil koplo (14,6%), dan Dextro (6,4%). Dari data
tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa legalitas ganja adalah tidak layak di
NKRI. Jika masih illegal saja sudah parah, apalagi dilegalkan? Mau jadi apa
negeri ini? (NK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar