Kasus kejahatan narkoba di Indonesia
kini semakin memprihatinkan. Menurut data yang dimiliki BNN, kenaikan rata-rata
setiap tahunnya sebesar 26% sejak tahun 2005 sampai 2010. Dari sejumlah kasus
tersebut, tercatat 70% diantaranya berada pada usia produktif yang sebagian
besar berasal dari komunitas seni dan hiburan. Dengan bertambahnya kasus
keterlibatan narkoba oleh beberapa selebiriti tanah air beberapa tahun
belakangan ini, semakin memperlihatkan bahwa kasus penyalahguna narkoba sudah berada
diambang yang mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, jika kondisi ini dibiarkan maka
akan berpengaruh pada pola pikir masyarakat khususnya generasi muda Indonesia.
Terutama dipicu dengan perkembangan teknologi informasi media, semakin membuka
peluang lebar untuk generasi muda Indonesia terbawa arus globalisasi yang
bersifat negatif, tidak terkecuali terjebak dalam narkoba.
Penyebaran narkoba semakin memprihatinkan, pada tahun 2008
prevalensi penyalahguna sejumlah 1,99% dari seluruh penduduk Indonesia. Tahun
2010 berjumlah 2,2% atau sekitar 4 juta orang, diprediksikan hingga tahun 2015
prevalensinya akan mencapai 2,8% atau 5,8 juta. Sedangkan data terbaru BNN
tahun 2014 menyatakan penyalahguna narkoba saat ini telah mencapai 4,8 juta
orang diseluruh Indonesia. Menyadari
bahaya laten dari narkoba, pemerintah memiliki sejarah panjang untuk mensiasatinya.
Sejak tahun 1971 pada saat itu telah dikeluarkannya
Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala
Badan Koordinasi Intelijen Nasional (BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam)
permasalahan nasional yang menonjol, yaitu pemberantasan uang palsu,
penanggulangan penyalahgunaan narkoba, penanggulangan penyelundupan,
penanggulangan kenakalan remaja, penanggulangan subversi, pengawasan orang
asing.
Berdasarkan Inpres tersebut Kepala BAKIN membentuk
Bakolak Inpres Tahun 1971 yang salah satu tugas dan fungsinya adalah menanggulangi
bahaya narkoba. Bakolak Inpres adalah sebuah badan koordinasi kecil yang
beranggotakan wakil-wakil dari Departemen Kesehatan, Departemen Sosial,
Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, dan lain-lain, yang berada di bawah
komando dan bertanggung jawab kepada Kepala BAKIN. Badan ini tidak mempunyai
wewenang operasional dan tidak mendapat alokasi anggaran sendiri dari ABPN
melainkan disediakan berdasarkan kebijakan internal BAKIN.
Permasalahan narkoba makin meledak dengan dibarengi
krisis mata uang regional pada pertengahan tahun 1997. Menghadapi permasalahan
narkoba yang berkecenderungan terus meningkat, Pemerintah dan DPR-RI
mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua
Undang-undang tersebut, Pemerintah (Presiden Abdurahman Wahid) membentuk Badan
Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun
1999. BKNN adalah suatu Badan Koordinasi penanggulangan narkoba yang beranggotakan
25 Instansi Pemerintah terkait.
BKNN diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia
(Kapolri) sampai tahun 2002. BKNN tidak
mempunyai personel dan alokasi anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan
dialokasikan dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes
Polri), sehingga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal. Kemudian,
BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak memadai lagi untuk menghadapi
ancaman bahaya narkoba yang makin serius. Oleh karenanya berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional, BKNN diganti
dengan Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN, sebagai sebuah lembaga forum dengan
tugas mengoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan
kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi: 1. mengoordinasikan
instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional
penanggulangan narkoba; dan 2. mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional
penanggulangan narkoba.
Mulai tahun 2003 BNN baru mendapatkan alokasi
anggaran dari APBN. Dengan alokasi anggaran APBN tersebut, BNN terus berupaya
meningkatkan kinerja bersama-sama dengan BNNP dan BNNK. Merespon perkembangan
permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius, oleh karena itu Pemerintah
dan DPR-RI mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, sebagai perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan
UU Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.
Peran Serta Masyarakat dalam Penanggulangan Narkoba
Pada kenyataannya, BNN dan pemerintah tak bisa
bekerja sendirian untuk menuntaskan masalah Narkoba dinegeri kita tercinta ini.
Perlu peran serta masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan
dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN). Sebagaimana termaktub dalam UU No.35 Tahun
2009 tentang Narkotika bab XIII pasal 104-107, berbunyi:
“Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya
untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.” (Pasal 104)
“Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam
upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika. (Pasal 105)
“Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika diwujudkan dalam bentuk:
a.
Mencari, memperoleh,
dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika
dan prekursor Narkotika.
b.
Memperoleh pelayanan
dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adaya dugaan telah
terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada penegak hukum
atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan prekursor
Narkotika.
c.
Menyampaikan saran
dan pendapat serta bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang
menangani perkara tindak pidana Narkotika dan prekursor Narkotika.
d.
Memperoleh jawaban
atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada hukum atau BNN.
e.
Memperoleh
perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta
hadir dalam proses peradilan.” (Pasal 106)
“Masyarakat dapat melaporkan kepada pihak berwenang
atau BNN jika mengetahui adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika.” (Pasal 107)
Selama masyarakat memandang tugas
untuk menanggulangi bahaya narkoba sebagai tugas pemerintah semata, selama itu
pula bahaya narkoba tidak akan berhasil tanpa saling berbagi tanggung jawab.
Itulah sebabnya, optimisme dan bahu-membahu antar elemen bangsa dalam
mewujudkan program P4GN (Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkoba) perlu ditingkatkan. Secara garis besar upaya P4GN
meliputi :
a Pencegahan
Menurut standar UNODC (United Nation Office
Drugs and Crime) organisasi dunia dibawah PBB yang secara khusus menangani
kejahatan narkoba dan kriminal menyatakan ada 3 tipe pencegahan :
1.
Pencegahan
Primer: Melakukan upaya pencegahan sejak dini agar tidak menyalahgunakan
narkoba. Ditujukan bagi masyarakat yang tidak atau belum menyalahgunakan
narkoba.
2.
Pencegahan
Sekunder : Diperuntukkan bagi mereka yang telah mulai, menginisiasi
penyalahgunaan narkoba, disadarkan agar tidak berkembang menjadi adiksi,
menjalani terapi dan rehabilitasi. Serta diarahkan agar yang bersangkutan
melaksanakan pola hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari.
3.
Pencegahan
Tersier : Ditujukan bagi mereka yang telah menjadi pecandu,
direhabilitasi agar pulih dari ketergantungan sehingga dapat kembali
bersosialisasi dengan keluarga dan masyarakat.
b. Pemberantasan
Peredaran
gelap narkoba ditengah masyarakat tidak luput dari pemain dibelakangnya yaitu
pengedar dan bandar yang telah terorganisasi secara sindikat internasional.
Bahkan perputaran uang diseluruh dunia saat ini narkoba menduduki peringkat
pertama dari seluruh jumlah uang yang beredar, yakni sebesar 399 miliar dollar
AS. Jumlah tersebut merupakan 80 persen dari jumlah keseluruhan uang yang
beredar di dunia. Kerugian yang ditumbulkannya sudah sangat besar, tahun 2013
saja Indonesia telah merugi 55 Triliun antara lain untuk biaya membeli narkoba,
biaya terapi, biaya rehabilitasi, biaya produktivitas yang hilang, kematian
akibat narkoba, dan tindakan kriminal. jumlah Rp 55 triliun
tersebut merupakan angka yang sangat besar dan akan mendatangkan manfaat luar
biasa jika digunakan dengan benar untuk pembangunan dan pembinaan anak bangsa.
Bayangkan, jumlah uang sebanyak itu jika digunakan untuk membangun
sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, jalan dan jembatan atau memberikan
lapangan pekerjaan bagi orang-orang yang menganggur, dan sebagainya. Itu sebabnya perlu pemutusan jalur peredaran narkoba melalui
pengurangan supply (supply reduction). Pemberantasannya dengan melakukan penyidikan
dan penyelidikan terhadap kasus kejahatan narkoba oleh aparat penegak hukum
yaitu polisi dan BNN sesuai dengan UU No. 35 Tahun 2009 pasal 71, 75, dan 76. Kasus-kasus
kejahatan narkoba selama ini yang berhasil diungkappun juga tidak lepas dari
peran serta masyarakat seperti pelaporan atas tindakan sekelompok orang yang
mencurigakan kepada pihak penegak hukum.
Meski penyalahgunaan dan peredaran narkoba pada
tahun 2015 tidak bisa mencapai batas angka nol persen atau bebas seutuhnya, namun
perkembangannya bisa kita tahan agar tidak pesat. Perlu perhatian bersama dari
kita semua elemen masyarakat agar angka prevalensi menjadi turun. Jumlah akan
terus meningkat bila kita acuh tak acuh, dan bukan hal mustahil kelak mengakibatkan
hilangnya generasi (lost generation)
setelah generasi kita akibat narkoba. Tentu bukan hal ini yang kita inginkan
bukan? Optimisme Indonesia Bebas Narkoba
2015 harus bisa kita wujudkan bersama. Kalau tidak dari kita, siapa lagi? Kalau
tidak dari sekarang, kapan lagi?
NB: Artikel ini juga dimuat dalam Radar Cirebon Group Jawa Post
Jumat, 20 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar