Satu
lagi kebudayaan Indonesia yang masuk dalam daftar warisan dunia oleh lembaga
UNESCO PBB sebagai intangible cultural heritage atau warisan kebudayaan
tak-benda yaitu jamu. Penghargaan yang diterima jamu ini setara dengan yang
telah diterima batik, angklung, rendang, tari saman, dan sebagainya. Sayangnya,
perhatian terhadap jamu lambat laun semakin menurun, sehingga memungkinkan
punahnya kelestarian jamu-jamu tertentu. Nah, apa sebenarnya penghambat-penghambat dan bagaimana sebaiknya sikap kita untuk menjaga kelestarian jamu?
Jamu (sumber : putraindonesia.or.id) |
Anggapan Jamu Kuno, Tidak Ilmiah dan Tidak Sesuai Zaman
Memasuki
era globalisasi, paradigma modernisme atau cenderung ke arah westernisme semakin
merasuki kedalam sendi-sendi kehidupan masyarakat modern. Gaya hidup
kebarat-baratan sudah semakin menjamur berkat bantuan teknologi, seperti lebih
menyukai makanan fastfood, pakaian dan asesoris bermerk internasional,
penggunaan gadget, produk kosmetik dan obat-obatan impor, dan lain-lain. Gaya
hidup semacam ini bila dibiarkan secara pelan-pelan bisa menggerus eksistensi
kebudayaan lokal tidak terkecuali untuk jamu.
Berbeda
dengan zaman dulu yang menganggap jamu adalah gaya hidup kebutuhan untuk hidup
sehat. Sebaliknya, kini stereotype negatif masyarakat mengenai jamu adalah
kuno, tidak ilmiah, dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Sehingga
menjadi alasan utama yang menghambat perkembangan jamu itu sendiri. Disisi lain
jamu masih dianggap sebagai alternatif pengobatan selain obat-obat dari dokter.
Tidak cuma itu, anggapan rasa pahit yang sulit dihilangkan, kadang memberikan
trauma untuk beberapa orang yang tidak terbiasa.
Terjadi Dikotomi Antara Pengobatan Modern dan Tradisional
Awalnya,
Sebelum terpengaruh ilmu kedokteran modern dan farmasi modern, penggunaan jamu
zaman dulu mengambil peran penting didalam sistem perawatan rumah tangga, jauh
sebelum adanya dokter dan obat. Bila ada orang yang sakit, pada tindakan
pertama yaitu anggota keluarga yang mencari ramuan menurut pengalaman dan
pemikiran sendiri untuk mengharapkan kesembuhan. Ramuan-ramuan tersebut di
Indonesia kemudian dikenal dengan istilah jamu. Tidak itu saja, jamu juga pernah berjasa pada
zaman revolusi Indonesia berkecamuk tahun 60-an. Saat itu obat hampir tidak ada
sehingga para dokterpun terpaksa ikut menggunakan cara-cara dan ramuan yang
lazim dipakai oleh rakyat setempat dengan hasil memuaskan.
Berkaca
dari sejarah tersebut sebaiknyanya para praktisi ilmu kesehatan modern baik
dokter maupun apoteker lebih menghargai budaya lokal nenek moyang yaitu dengan
tidak menciptakan dikotomi keduanya. Seperti
berusaha untuk mengkaji dan meneliti sehingga kebutuhan kesehatan masyarakat
Indonesia tidak terlalu tergantung pada por obat-obatan dari luar negeri.
Melainkan melakukan riset akan khasiat tanaman – tanaman jamu yang kandungannya
juga bisa bermanfaat bagi ilmu kesehatan modern.
Anggapan Produksi Jamu Yang Keliru
Salah
satu lagi alasan mengapa jamu masih kurang peminatnya adalah persepsi negatif
terhadap jamu yang dianggap kurang aman dikonsumsi. Padahal, bila dosis dan
diagnosa yang tepat, kecil kemungkinan terjadi hal fatal seperti keracunan.
Persepsi negatif itu sering kali lebih disebabkan oleh dua hal utama yaitu produsen
yang “nakal” dan konsumen yang sembarangan melakukan diagnosa pribadi. Beberapa
waktu lalu santer pemberitaan dimedia massa mengenai penyitaan beberapa merk
jamu produksi rumahan yang disinyalir menambahkan bahan kimia yang bisa
berbahaya bagi konsumen.
Banyak
juga kasus salah memilih dan dan meminum jamu hanya karena yang membuat
diagnosa adalah sikonsumen sendiri. Sedang penjualnya hanya berurusan dengan
laku tidaknya barang dagangan. Maka itu diperlukan pembinaan dan penyuluhan
terutama kepada penjual atau penyalur atau agen-agen penjualan jamu agar
memiliki pengetahuan dan pengertian dasar tentang jamu sehingga nanti bisa
memberi nasihat kepada konsumen tentang penggunaan jamu yang paling tepat.
beberapa macam jenis jamu (sumber: kopihijau.info) |
Untuk
menjaga kelestarian jamu perlu dilakukan pemberdayaan disegala sektor untuk
meningkatkan kualitas jamu baik sebagai kebudayaan maupun sebagai pengobatan. Serta
perlunya dilakukan kerjasama antar elemen masyarakat antara lain instansi
pemerintah seperti Kementrian Pendidikatan dan Kebudayaan (Kemendikbud),
Kementrian Kesehatan (Kemenkes), Kementrian
Perdagangan , Kementrian Pertanian (Kementan), Kementrian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif , serta pemerintah daerah. Sedangkan dukungan dari pihak swasta yang
tidak kalah penting yaitu produsen industri jamu, para penjual dan agen
penyalur, petani tanaman jamu, dokter, apoteker, dan traditional health-practitioners (istilah yang digunakan WHO / Badan
Kesehatan Dunia) untuk praktisi kesehatan non medis), dunia pendidikan
kesehatan, pelaku industri pariwisata, dan masyarakat sebagai konsumen.
Mengenal dan Memperkenalkan Jamu
Jamu
tidak melulu pahit, tidak melulu obat, dan tidak melulu kuno maupun tidak
ilmiah tetapi jamu sebenarnya kaya akan nilai. Memang terdapat mitos bahwa
semakin pahit jamu maka semakin manjur. Dalam pengertian sekarang telah
diketahui bahwa tingkat kepahitan menunjukkan adanya zat alkaloida tidak tanpa
batas. Artinya, rasa pahit yang berlebihan dapat mengganggu keseimbangan
pencernaan kita. Oleh leluhur yang mewariskan jamu menyiasatinya dengan saling
menetralisir efek racun satu sama lain tanpa mengurangi khasiatnya. Misalnya,
dengan menambahkan adas pulosari atau adas pulowaras yang diketahui dapat
menghangatkan badan dan menstimulasi kelenjar-kelenjar. Adapun jamu yang tidak
pahit biasanya diminum setelah yang pahit berfungsi sebagai penawar seperti
beras-kencur, kunyit asam, dan sebagainya.
Selain
fungsinya sebagai obat, jamu juga berperan dalam dunia kosmetik. Misal bengkoang dan mangir untuk mencerahkan
warna kulit, urang-aring untuk menghitamkan rambut, jeruk nipis untuk
mengurangi ketombe, ketimun untuk perawatan wajah, daun jati belanda untuk
pelangsing dan masih banyak lagi fungsi lainnya. Konsumenpun diberikan pilihan
untuk mengolahnya sendiri atau langsung membeli produk instan yang sering kali
sudah disediakan dalam bentuk kemasan. Hal ini bersifat relatif, untuk pengguna
jamu daerah perkotaan akan lebih memilih membeli secara instan baik melalui
warung jamu atau penjaja jamu gendong. Sedangkan, yang didaerah pedesaan bisa
mengolah sendiri melalui tanaman yang sudah disediakan oleh alam.
Penjaja Jamu Gendong (Sumber: id.wikipedia.org) |
Jamu
kini sudah menjadi industri besar diIndonesia, ketika perusahaan telah berhasil
menciptakan produk jamu yang berkualitas dan ditangani oleh manajemen yang
ahli, jamu mampu berkembang tidak hanya sebagai produk nasional tapi juga
internasional. Beberapa contoh produk jamu yang berhasil menjadi industri besar
yaitu Sido Muncul, Sariayu, dan Mustika Ratu. Dan pastinya akan disusul oleh
merk-merk dagang lain yang akan turut meramaikan pasar jamu diIndonesia. Motto pengusaha
industri jamu yang menyatakan ramuan alami yang diolah dengan teknologi modern
tampaknya semakin mendapat sambutan baik dimasyarakat.
Pembudidayaan Tanaman Obat
Pengetahuan
tentang jamu termasuk ilmu kuno warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Sebaiknya
ilmu kuno yang bermanfaat ini disebarkan secara luas oleh masyarakat, sehingga peran
serta masyarakat secara aktif dapat lebih menonjol. Salah satunya dengan
menanam tanaman obat atau yang biasa dikenal dengan apotik hidup baik dalam
skala kecil maupun skala besar. Keuntungan yang diperoleh dari apotik hidup antara
lain membantu kelestarian alam dan keanekaragaman hayati. Perlu kita pahami
bahwa kepunahan suatu tanaman diisebabkan oleh ketiadaan bibit dan tunas baru. Lalu, dapat
memperoleh obat secara murah atau gratis karena dengan cara meramu obat
sendiri. Serta menjadi sumber gizi keluarga seperti tanaman jambu biji, pepaya,
pisang, sawo, dan sebagainya. artinya ketika tidak diperlukan untuk pengobatan
bisa sebagai sumber makanan.
Apotik Hidup (Sumber: Sidomi.com) |
Keuntungan
yang lain yaitu sebagai bumbu dapur rumah tangga. Sejumlah tanaman obat yang
dalam kehidupan sehari-hari dipergunakan sebagai bumbu dapur, misalnya jahe
laos, serai, temukunci, kunyit, dan sebagainya. secara tidak langsung
masyarakat juga turut andil dalam gerakan penghijauan, karena menanam tanaman
obat berarti juga menambah jumlah tanaman. Jika apotik hidup diadakan didaerah
perbukitan yang terancam erosi maka bermakna pula pencegahan terhadap tanah
longsor dan penanggulangan banjir.
Jamu tradisional dan Perawatan Medis yang
Saling Melengkapi
Pada
saat ini dunia kesehatan mulai menyadari adanya bahaya tersembunyi dibalik
penggunaan obat modern yang dikonsumsi secara berlebihan. Maka perhatian dunia
sudah mulai tertuju pada pengobatan tradisional yang telah terbukti
menyelamatkan manusia dari kepunahan. Disamping itu, tidak berarti menafikkan
jasa perawatan medis modern yang telah berjasa menanggulangi penyakit endemik
seperti cacar, TBC, kusta, dan sebagainya yang pada zaman dulu penderita harus
dikucilkan. Namun sayangnya semakin maju dunia medis, semakin banyak pula
penyakit yang menghinggapi manusia yang dulunya dianggap langkat atau bahkan
belum ada seperti penyakit diabetes, penyakit jantung, stroke, kanker, dan
sebagainya. itulah sebabnya semakin banyak himbauan untuk kita kembali kepada
kearifan alam, mengubah pola hidup yang super modern kembali kepada cara-cara
yang wajar.
Sudah
diakui baik oleh WHO maupun pada cerdik cendekiawan kita, bahwa pengobatan
secara modern di Indonesia belum mampu menjangkau 100% seluruh warga negara
Indonesia secara merata. Terlebih biaya kesehatan masih terbilang cukup tinggi,
tentunya belum dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Disisi lain
tenaga medis yang sangat terbatas didaerah pedalaman, sehingga perlu pengobatan
alternatif yang tidak selalu dalam bentuk obat-obatan yang diresepkan oleh
dokter. Penelitian dibidang farmasi mengenai jamu telah diteliti pula oleh "Biofarmaka IPB" sehingga dapat meluruskan bahwa ternyata khasiat jamu dapat dibuktikan secara ilmiah.
Ketergantungan
dari obat-obatan bahan baku impor yang masih lebih dari 70%, sudah selayaknya
dunia farmasi mulai berteman dengan para petani. Untuk mandiri dalam bidang
farmasi mau tidak mau kita mengharapkan suplai bahan baku berupa tanaman
berkhasiat dari hasil hutan dan ladang sendiri. Selain dapat menghemat pengeluaran
untuk biaya impor, menggalakkan pertanian obat juga berarti pemberdayaan
ekonomi kerakyatan. Dengan demikian diharapkan usaha pemerintah untuk meratakan
pelayanan kesehatan masyarakat, dapat cepat dirasakan, karena masyarakat diajak
mengenal dan memakai kembali pusaka peninggalan nenek moyang kita berupa
pemanfaatan jamu untuk kesehatan dan kebudayaan agar terhindar dari kepunahan. Dan
ditangan kita semualah jamu dapat dilestarikan dan semakin diperkenalkan
sebagai warisan budaya dunia.
Untuk melihat produk jamu kosmetik dan kesehatan silakan baca artikel Kosmetik dan Jamu yang Halal Berpengalaman.
Courtesy:
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus